Buaya di Kali Batavia: Mara Bahaya yang Siap Menerkam Orang Belanda Era VOC
JAKARTA - Kongsi dagang Belanda, VOC boleh bangga telah membangun Kota Batavia. Sebuah pusat kekuasaan yang nyaman dengan tata kota menyerupai kota di Belanda. Kota itu sengaja dibentengi dengan tembok-tembok menjulang tinggi supaya tiada gangguan dari dunia luar: manusia atau hewan buas.
Sekalinya mereka berani ke luar Batavia sudah tentu mengundang petaka. Sungai atau kali jadi salah satu tempat paling berbahaya. Hadirnya hewan buas macam buaya dalam jumlah yang banyak jadi biang keladi orang Belanda tewas diterkam.
Kompeni berhasil mengobrak-abrik Jayakarta pada 1619. Keberhasilan itu membuat Kompeni mengusir seluruh penduduk Jayakarta. Kompeni tak sudi hidup berdampingan dengan kaum bumiputra. Kondisi itu membuat Kompeni membangun Kota Batavia di atas puing-puing kehancuran Jayakarta.
Kota itu diciptakan sesuai dengan daya cipta orang Belanda umumnya. Mereka menghendaki tata kota serupa kampung halamannya di Belanda. Sekalipun hidup mereka bak terisolir. Empunya kuasa lalu melengkapi Kota Batavia dengan membentengi diri dari dunia luar: Ommelanden (kawasan luar tempok Batavia).
Kehadiran benteng itu seraya menyimbolkan ketakutan yang dipendam penduduk Batavia. Mereka takut diserang kaum bumiputra. Mereka juga takut dengan terkaman binatang buas. Perihal binatang buas sendiri bukan barang baru di Batavia era awal kuasa VOC.
Alasannya tak lain karena sebagian besar wilayah ommelanden masih hutan belantara. Banyak tempat yang belum terjamah oleh manusia. Kondisi itu menjadi rumah yang nyaman bagi binatang buas macam harimau hingga buaya.
Barang siapa yang mencoba berjalan-jalan ke luar tembok kota tanpa pengawalan yang ketat, niscaya akan menghadapi ancaman satu-satunya: kematian. Ancaman itu bukan untuk menakut-nakuti. Semuanya karena kematian diterkam binatang buas kerap menjadi berita hangat bagi seisi Batavia.
Orang Belanda maupun budaknya minimal harus berpikir panjang dahulu sebelum melangkahkan kaki ke luar gerbang Kota Batavia. Sebab, pergi dari Batavia –apapun alasannya akan memperpanjang daftar kematian diterkam binatang buas.
Baca juga:
“Untuk menunjukkan bagaimana hutan dalam waktu lama berdekatan dengan manusia, cukup diingatkan di sini bahwa binatang buas bertahan di Jawa sampai awal abad ke-20. Dan hingga kini pun orang barat masih tetap membayangkan bahwa Nusantara penuh satwa buas.”
“Pada abad ke-17, masih mungkin terjadi harimau berkeliaran di jalan-jalan Batavia, dan salah satu lukisan yang ditinggalkan oleh pendeta Valentijn menggambarkan dengan cermat Kapten Winkler sedang menembak binatang buas di lapangan Kasteel Batavia pada tahun 1694,” ungkap sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid 1 (1996).
Terkaman Buaya
Orang Belanda menganggap harimau jadi binatang yang paling dihindari. Akan tetapi, bahaya tak hanya hadir di darat saja. Bahaya lain yang lebih besar juga muncul di sungai-sungai yang ada di Batavia. Sekalinya orang Belanda lengah ingin bermain di sekitar sungai, maka buaya siap menerkam.
Bahaya itu memang tak terlalu menjadi soal bagi kaum bumiputra. Orang lokal memahami mana sudut sungai yang berbahaya dan mana yang tidak. Bahkan, ada pula kegiatan mistik yang dilakukan. Kaum bumiputra mencoba melempar jimat ke air. Mereka pun jadi merasa takkan dijahili oleh buaya.
Masalah muncul. Pengetahuan terkait penanda bahaya tak diadopsi oleh orang Belanda. Mereka sembarang saja mencoba mencari hiburan dengan naik parahui menelusuri sungai. Petaka bisa muncul kapan saja. Banyak pula yang merenggang nyawa karena bertindak ceroboh sampai diterkam buaya.
Kabar duka pun terus berkumandang di Batava karenanya. Ancaman buaya-buaya yang lapar membuat sungai jadi tempat yang secara tak tertulis terlarang bagi warga Batavia. Namun, pemerintah coba ambil sikap. Empunya kuasa merasa korban jiwa karena diterkam buaya kian banyak.
Mereka pun mencoba menjanjikan uang bagi siapa saja yang mampu menangkap buaya. Aturan itu nyatanya menaikkan adrenalin banyak orang. Mereka mencoba bertaruh nyawa dengan menangkap buaya-buaya yang ada di sungai.
Kegiatan itu tak efektif. Populasi buaya bejibun dan banyak pula warga yang sengaja memelihara buaya supaya beranak pinak hanya untuk mendapat uang jadi masalah yang tak terselesaikan. Namun, satu-satunya yang membuat buaya benar-benar hilang dari Batavia --percaya atau tidak-- adalah pembangunan besar-besaran.
“Hewan-hewan buas itu tidak hanya terdapat di Sungai Ciliwung, Krukut, atau Angke, tetapi bahkan juga di dalam parit-parit di dalam serta di luar tembok kota. Mereka yang sering mendapatkan binatang itu adalah para pemegang izin untuk menangkap ikan air tawar yang biasa menggunakan keramba.”
“Serdadu yang iseng tidak jarang melewatkan waktu senggangnya sambil berburu buaya dengan memasang seekor anjing yang diikat di atas getek bambu. Barang siapa yang berhasil menangkap seekor buaya atau ular, menyeretnya ke tepi sungai dan membunuhnya, menerima upah 10 real. Keberadaan aneka binantang buas yang membuat penduduk bergidik ketakutan, tercermin dalam nama sejumlah parit seperti Parit Harimau (Tigersgracht), Parit Buaya (Kaaimansgracht), dan Parit Badak (Rinocerosgracht),” ungkap sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).