JAKARTA - Inggris pernah mengambil alih pemerintahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, tak semua kerajaan mau tunduk. Kesultanan Yogyakarta, misalnya. Thomas Stamford Raffles dan jajarannya dianggap remeh.
Inggris tak terima. Perang dengan Kesultanan Yogyakarta digelorakan pada 1812. Peristiwa itu dikenang sebagai Geger Sepoy atau Geger Sepehi. Pasukan Inggris menggempur Keraton Yogyakarta hingga menyerah. Kesempatan itu membuat pasukan Inggris gelap mata. Mereka menjarah harta dan arsip Kesultanan Yogyakarta.
Thomas Stamford Raffles adalah sosok penting hadirnya Inggris merebut Pulau Jawa. Raffles memang menaruh ketertarikan karena Pulau Jawa dianggapnya sebagai peradaban besar yang patut diteliti. Keinginan itu dibungkus dengan narasi bahwa Inggris akan untung jika menguasai Pulau Jawa.
Raffles pun mendapatkan restu dari pemerintah Inggris untuk merebut Pulau Jawa dari tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Inggris pun mengutus Raffles memimpin penyerangan ke jantung pusat pemerintahan di Batavia dan berhasil pada 1811. Raffles pun diangkat jadi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Ia lalu jadi perwujudan kekuasaan Inggris di tanah Jawa. Raffles pun segera mengingatkan kembali kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa bahwa Inggris adalah penguasa baru. Kerajaan yang ada diminta tunduk dan mengikuti kemauan Inggris.
Masalah muncul. Ada satu kerajaan yang dianggap tak mau tunduk dengan kuasa Inggris di Pulau Jawa. Kerajaan itu adalah Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono II dianggap tak pernah sudi menganggap Inggris sebagai tuan barunya.
Utusan Raffles mendapatkan hinaan dan cercaan dari raja yang kemudian dijuluki Sultan Sepuh. Raffles pun penasaran. Ia mencoba mendatangi sendiri pemimpin Yogyakarta tersebut. Nyatanya, apa yang dikatakan utusannya benar.
Hamengkubuwono II keras kepala. Raffles bak diremehkan. Sultan sengaja mengatur supaya tempat duduk Raffles lebih rendah. Makna simbolis itu dipahami Raffles yang banyak belajar budaya Jawa. Pertumpahan darah hampir terjadi. Namun, Raffles segera menarik diri dan segera menggelorakan perang setelahnya.
“Pakubuwono IV, pemimpin Susuhan Surakarta kini melibatkan diri ke dalam konflik tersebut. Secara diam-diam dia mengadakan surat-menyurat dengan Hamengkubuwono II yang menyebabkan Sultan percaya bahwa Surakarta akan mendampinginya dalam perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Eropa.”
“Tujuan Susuhunan yang sesungguhnya ialah mendorong supaya Sultan menjadi berani, sehingga akan menyebabkan hancurnya kesultanan di tangan orang-orang Eropa. Pihak Inggris segera mengetahui adanya surat-menyurat Surakarta-Yogyakarta ini,” ungkap sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Geger Sepoy
Sultan Hamengkubowo II percaya diri dapat bertahan dan menang dari serangan Inggris. Ia juga yakin Surakarta akan mendukungnya. Nyatanya, yang terjadi sebaliknya. Pasukan Inggris yang berjumlah 1.200 orang justru datang dibantu ratusan prajurit Mangkunegara.
Pihak Kesultanan Yogyakarta tetap percaya diri. Pasukan Keraton Yogyakarta pun tak kalah banyak. Mereka mencapai 11 ribu orang. Mereka berjaga-jaga supaya bisa menyelamatkan Sultan dari serangan Inggris. Hari yang ditunggu pun tiba pada Juni 1812.
Kepercayaan diri Sultan Yogyakarta pun meninggi. Ia mencoba melemahkan langkah musuh dengan mengirim utusan meminta pasukan Inggris menyerahkan diri saja tanpa pertempuran. Jawabannya tentu tak mungkin. Nyali Raffles sudah meninggi. Raffles tak peduli urusan kuantitas. Ia berfokus pada kualitas.
Inggris pun punya strategi apik. Mereka mencoba menyerang Keraton Yogyakarta dari segala arah. Serangan itu membuat nyali prajurit Kesultanan cuit. Mereka digempur oleh Inggris dari sana sini. Pasukan Raffles mampu menggempur Keraton Yogyakarta.
Prajurit Yogyakarta pun banyak merenggang nyawa. Sedang pasukan Inggris yang gugur hanya puluhan orang saja. Puncaknya, Sultan Hamengkuwono II terdesak dan mengaku kalah. Kekalahan itu membuat prajurit Inggris kalap. Mereka segera melakukan penjarahan di Keraton Yogyakarta.
Harta benda –emas, benda pusaka, hingga perhiasan lainnya-- milik Kesultanan banyak dicuri. Bahkan, aksi penjarahan dilakukan pula kepada warga Yogyakarta juga. Kejadian itu jadi catatan hitam dalam eksistensi Kesultanan Yogyakarta di Nusantara.
Raffles pun tak mau ketinggalan. Ia memang tak melakukan penjarahan harta –emas atau perhiasan lainnya. Ia memilih melakukan pencurian akademis besar-besaran. Raffles mengambil seluruh arsip milik keraton, dari arsip daun lontar hingga arsip lainnya dengan ragam bahasa.
Pencurian itu membuat Kesultanan Yogyakarta kehilangan banyak harta. Boleh jadi harta boleh dicari. Namun, arsip-arsip bersejarah milik Kesultanan Yogyakarta sulit kembali. kondisi itu membuat peristiwa Geger Sepoy sebagai penjarahan besar-besaran Inggris atas Kesultanan Yogyakarta.
“Tidak ada pemerkosaan namun terjadi banyak perampukan, dan ketika merampok mereka benar-benar mengamuk. Di sekitar Bangsal Kencono, para putri dan selir dirampas perhiasannya. Sarung dan kebaya disobek – bukan karena pelecehan seksual, melainkan untuk mendapatkan harta karun yang mungkin disembunyikan di baliknya – dan seluruh kota, pesta penjarahan terjadi.”
“Rumah-rumah digeledah, pintu ditendang, dan semuanya diambil. Pasukan berseragam merah Inggris tampaknya hampir sepenuhnya tak terkendali dalam melakukan penjarahan: mereka sampai mengeruk parit, menghancurkan lemari, menuruni sumur, dan bahkan membongkar lantai agar tidak ada harta karun kecil luput dari perhatian mereka,” tulis Tim Hannigan dalam buku Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2016).