Wacana Penambahan Kementerian adalah Konsekuensi Besarnya Koalisi di Pilpres 2024

JAKARTA – Keputusan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi UU ditanggapi sinis berbagai kalangan. Pengesahan ini diduga menjadi celah berikutnya untuk bagi-bagi kekuasaan akibat koalisi gemuk.

Rapat paripurna ketujuh DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/9/2024) berhasil mengesahkan UU Kementerian Negara. Proses pengesahan uu ini terbilang mulus dan berjalan dalam waktu singkat. Sekitar sepekan sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan revisi UU Kementerian Negara hanya dalam waktu kurang dari delapan jam dan sepakat membawanya ke rapat paripurna.

Begitu revisi UU Kementerian Negara diakukan dengan kilat, masyarakat langsung menuding adanya “politik dagang sapi” presiden terpilih Prabowo Subianto. Bukan tanpa alasan tudingan ini muncul. Selain proses UU yang berjalan sangat mulus, pasal-pasal yang berubah, ditambahkan, atau dihilangkan spesifik terkait proses penyusunan kementerian.

Setidaknya ada enam poin penting dalam perubahan tersebut, salah satunya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden.

Rumor Lama 

Presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diusung koalisi besar pada pilpres yang digelar 14 Februari lalu. Ada empat partai politik parlemen, yaitu Partai Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat yang mendukung duet ini. Selain itu masih ada empat partai non-parlemen, yakni PBB, Partai Gelora Indonesia, PSI, Partai Garuda, satu partai lokal yaitu Partai Aceh. Gabungan parpol yang mendukung Prabowo-Gibran ini kemudian disebut sebagai Koalisi Indonesia Maju atau KIM.

Tak lama setelah resmi ditetapkan sebagai pemenang pemilu, rumor Prabowo Subianto bakal menambah jumlah kementerian seusai dilantik jadi presiden menjadi perbincangan hangat publik.

Kala itu wacana yang berkembang adalah Prabowo akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 41. Menurut wakil ketua umum Partai Gerindra Habiburokhman, ide ini sebuah kewajaran mengingat Indonesia adalah negara besar dan butuh banyak orang dalam pemerintahan untuk mengurusnya. Belakangan, jumlah kementerian setelah Prabowo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober mencapai 44.

DPR RI mengesahkan UU Kementerian jelang Jokowi lengser. (ANTARA/Aditya Pradana Putra)

Salah satu badan setingkat kementerian yang bakal dibentuk nanti adalah Badan Penerimaan Negara (BPN). Rencana pendirian BPN ini sudah digaungkan sejak masa kampanye pemilu presiden lalu. Badan ini diharapkan dapat mendongkrak penerimaan pajak dan non-pajak negara.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo sudah membentuk dua badan baru setingkat kementerian, yakni Kantor Komunikasi Presiden dan Badan Gizi Nasional. Badan Gizi Nasional akan mengeksekusi program makan bergizi gratis yang mulai berjalan tahun dengan dengan alokasi dana sekitar Rp71 triliun.

Rumor soal bakal bertambahnya kementerian ditanggapi skeptis banyak kalangan. Pembentukan kabinet jumbo tidak semata-mata untuk mengurusi Indonesia, seperti apa yang diutarakan Habiburokhman, melainkan untuk mengakomodasi mereka, baik parpol maupun relawan, yang sudah mendukung pasangan Prabowo-Gibran sepanjang Pilpres. Apalagi, belakangan partai-partai lain yang sebelumnya berseberangan menjadi mendekat ke Prabowo.

Mengakomodasi Para Pendukung

Pengamat politik Ujang Komarudin melihat penambahan kementerian di kabinet Prabowo adalah konsekuensi besarnya koalisi pada Pilpres 2024. Sudah menjadi rahasia umum, partai-partai pengusung dan pendukung pasti ingin mendapat posisi tersebut.

"Ada kesepakatan mengikat janji bersama berkoalisi lima tahun ya, konsekuensi itu ya adalah memberi posisi kepada partai-partai koalisi. Dan itu konstruksi umum dalam praktik politik," kata Ujang.

Dalam konteks politik Indonesia, ini adalah sebuah kewajaran. "Yang namanya partai politik, kalau berkoalisi pasti ingin mendapat jatah kursi menteri," jelas dosen Universitas Indonesia itu. Yang terpenting, Ujang menambahkan, Prabowo tidak asal menunjuk siapa sosok-sosok yang akan membantunya nanti, yaitu figur yang punya kapasitas, kapabilitas, dan integritas.

Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai menambah pos kementerian merupakan langkah keliru. Ia mengatakan seharusnya presiden terpilih menambah kantor-kantor dinas, bukan malah menambah kementerian.

"Memahami karakter Indonesia, dari sisi sistem negara, kultur masyarakat dan geografis, Indonesia tidak memerlukan banyak kementerian atau jabatan di tingkat pusat. Justru, yang perlu ditambah adalah kantor dinas di tingkat provinsi," kata Dedi.

Menurut Dedi, kementerian sebagai wilayah administratif hanya perlu mengawal regulasi dan implementasi yang dibebankan pada kedinasan di wilayah. Ia memandang kementerian-kementerian sekarang ini justru didominasi kerja-kerja event organizer. Ini adalah fakta yang memprihatinkan dan berpotensi tidak memiliki dampak besar untuk masyarakat.

Ketimbang ditambah, Dedi justru melihat kementerian yang ada sekarang di era Presiden Jokowi justru seharusnya dipangkas dan dilebur pada kementerian yang sifat kerjanya hampir sama supaya tidak terjadi tumpang tindih.

"Seharusnya, kementerian di Indonesia justru dimoratorium, bahkan dikurangi. Contoh Setkab dilebur dengan Setneg, Kemensos dilebur dengan Tenaga Kerja. Kemenko PMK dihapus, Kemenhub dilebur dengan PUPR, dan lainnya," ucap Dedi.

"Kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa atas kerja Pemilu atau Pilpres," lanjut dia.

Jajaran Menteri Jokowi di Kabinet Indonesia Maju dan pejabat setingkat menteri mengunjungi Embung MBH di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (11/8/2024). (ANTARA/Sigid Kurniawan)

Dedi tidak menampik kemungkinan dampak negatif dari penambahan pos kementerian, yang menurutnya sudah dimulai di era Presiden Jokowi. Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah memicu nihilnya pengawasan di parlemen ke depannya.

"DPR sejauh ini didominasi penyokong kekuasaan dan kental nuansa kesepakatan untuk membuka peluang banyaknya kementerian di periode depan. Tentu ini berdampak buruk, selain membebani anggaran negara, juga dapat menghambat laju kinerja," kata Dedi menyudahi.