Indonesia Minta Aung San Suu Kyi Akhiri Genosida Rohingya di Myanmar dalam Memori Hari Ini, 4 September 2017

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 4 September 2017, Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi menemui penasihat negara Myanmar, Aung San Suu Kyi di Naypyidaw. Pertemuan itu dalam rangka pemberian usulan untuk mengakhiri kekerasan –genosida-- terhadap etnis Rohingya.

Sebelumnya, etnis Rohingya tak pernah diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar. Kondisi itu membuat perlakuan negara terhadap etnis Rohingya tak manusiawi. Puncaknya junta militer Myanmar pun melakukan genosida.

Nestapa hidup sebagai etnis Rohingya di Myanmar tiada dunia. Pemerintah Myanmar telah menyatakan secara resmi bahwa orang Rohingya berstatus non-national pada 1982. Ketiadaan pengakuan membuat sentimen ras terbuka lebar.

Etnis Burma yang notabene beragama Buddha kerap terganggu dengan keberadaan orang Rohingya di Rakhine. Sentimen itu berbuah anggapan orang Rohingya sering melakukan kejahatan. Kondisi itu membuat orang Rohingya sering mendapatkan kekerasan dan ancaman.

Demonstrasi di luar Mahkamah Internasional, Den Haag, Belanda mendukung Aung San Suu Kyi soal sikapnya terhadap etnis Rohingya. (EPA)

Alhasil, semenjak tahun 2013, beberapa keluarga etnis Rohingya mulai memikirkan opsi kabur ke berbagai negara. Harapannya supaya dapat hidup nyaman tanpa harus didominasi oleh ketakutan. Negara-negara di Asia Tenggara lainnya macam Malaysia, Indonesia, hingga Thailand jadi tujuan.

Puncak kebencian itu muncul pada 2017. Pemerintah Myanmar bak menjadikan apa saja sebagai pemicu konflik. Kehadiran Tentara Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) yang ingin wilayah Rakhine merdeka dimanfaatkan untuk mengusir dan membunuh orang Rohingya pada awal 2017.

Agresi militer skala besar dilakukan. Empunya kuasa menargetkan kelompok militan yang yang berujung genosida warga sipil beretnis Rohingya, dari orang tua hingga anak-anak. Imbasnya,ratusan ribu orang mengungsi dan 400 orang meninggal dunia.

Rumah hingga harta benda lainnya dirampas. Dunia pun mengecam tindakan pemerintah Myanmar. Pun kecaman juga diarahkan kepada ikon perjuang kemanusian yang juga penasihat negara, Aung San Suu Kyi.

Pengungsi etnis Rohingya di kamp pengungsian Cox'z Bazar, Bangladesh. (Anadolu Agency)

“Selama bertahun-tahun, masyarakat Rohingya menghadapi penganiayaan yang meluas oleh militer Myanmar, yang telah menggiring banyak orang ke kamp pengungsian. Pemerintah Myanmar membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.”

"Kebanyakan dari mereka telah dicabut kewarganegaraannya. Padahal Rakhine adalah rumah mereka,” terang Hana Beech dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Rohingya Crisis ‘Could Have Been Handled Better,’ Aung San Suu Kyi Says (2018).

Pemerintah Indonesia pun turut andil bagian jadi negara yang mengecam. Namun, karena Myanmar adalah negara sahabat yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), pemerintah mengupayakan jalur dialog.

Alhasil, Menlu, Retno Marsudi menemui langsung Aung San Suu Kyi, di di Kantor Kepresidenan, Naypyidaw, Myanmar pada 4 September 2017. Retno mendapatkan tugas khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengusulkan Aung San Suu Kyi akhiri genosida.

Retno pun menyampaikan usulan kepada Aung San Suu Kyi dan pemerintah Myanmar menerapkan formula 4+1 untuk Rakhine State. Solusi itu antara lain mengembalikan stabilitas keamanan, tak menggunakan kekerasan, melindungi etnis Rohingya, dan membuka akses kemanusiaan.

“Saya juga membawa suara dunia Internasional agar krisis kemanusiaan di Rakhine State dapat segera diselesaikan. Empat elemen pertama  merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusian dan keamanan tidak semakin memburuk,” ungkap Retno sebagaimana dikutip laman Sekretariat Presiden, 4 September 2017.