Ketika DPR Menyerah pada Tekanan Publik
Keputusan DPR untuk membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) menjadi kemenangan penting bagi masyarakat sipil. Setelah gelombang protes dan kritik keras, revisi yang semula diusulkan untuk mengubah sistem pilkada ini akhirnya tidak disahkan.
Penolakan terhadap revisi RUU Pilkada datang dari berbagai kalangan—mahasiswa, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil—yang khawatir revisi ini hanya akan menguntungkan pihak tertentu dan merusak demokrasi. Protes semakin memanas setelah dua poin utama revisi RUU Pilkada terungkap: penghapusan syarat pengalaman sebagai kepala daerah bagi calon gubernur, dan penurunan usia minimal untuk calon kepala daerah.
Dalam perdebatan RUU Pilkada, muncul dua perbedaan utama antara Putusan MK dan usulan revisi DPR. Pertama, terkait ambang batas pencalonan. Melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024, MK membatalkan syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah, menggantikannya dengan ambang batas berdasarkan jumlah penduduk. Partai politik dapat mengusung calon kepala daerah tanpa kursi di DPRD, asalkan memperoleh 6,5 hingga 10 persen suara dari daftar pemilih tetap. Sebaliknya, DPR tetap mempertahankan syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi, namun mengikuti Putusan MK untuk partai tanpa kursi. Kedua, perbedaan mengenai batas usia calon kepala daerah. MK menetapkan batas usia calon gubernur 30 tahun dan calon bupati/wali kota 25 tahun saat ditetapkan oleh KPU, bukan saat pelantikan. Namun, DPR memilih mengikuti keputusan MA yang mengacu pada usia saat pelantikan.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyebut isu penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai hal yang berlebihan. Ia menegaskan pemerintah akan mengikuti Putusan MK dan tidak akan mengambil langkah yang bertentangan dengan konstitusi. Ketua DPR, Puan Maharani, juga mengapresiasi suara publik dan menegaskan bahwa keputusan membatalkan revisi adalah bentuk penghormatan terhadap aspirasi masyarakat.
Baca juga:
- Pelajar SMA/SMK Miliki Hak Menyampaikan Pendapat Melalui Demonstrasi, Fasilitasi & Lindungi Bukan Dihalangi & Ditangkap
- Megawati soal Putusan MK Dianulir: Sebenarnya DPR Opo Toh Yo?
- Kena Lempar Botol saat Temui Pendemo Tolak Revisi UU Pilkada, Wakil Ketua Komisi III: Risiko Wakil Rakyat
- Kebakaran Hotel Korsel Diduga Dipicu Korsleting, Korban Tewas Jadi 7 Orang, 2 Lompat dari Lantai 8
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan bahwa Pilkada 2024 akan diselenggarakan berdasarkan Putusan MK. Syarat pencalonan, termasuk usia dan pengalaman calon, akan tetap mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan MK. Dengan demikian, perubahan syarat yang diusulkan dalam revisi RUU Pilkada tidak akan diakomodasi.
Pembatalan revisi RUU Pilkada ini menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam menjaga demokrasi. Keputusan ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat bersatu dan bersuara tegas, perubahan bisa terjadi meski dihadapkan pada kekuatan politik yang besar. Namun, kemenangan ini juga menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan pengawasan yang konsisten. Partisipasi aktif warga negara sangat diperlukan untuk memastikan proses politik tetap jujur dan sesuai kehendak rakyat. Demokrasi sejati memerlukan keberanian untuk bersuara dan komitmen kuat untuk melindungi kepentingan bersama.