Reog Ponorogo Seharusnya Lebih Banyak Dipentaskan, Bukan Malah Dikorupsi Lewat Pembangunan Monumen

JAKARTA – Proyek megah Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP) Ponorogo dilaporkan oleh warga sendiri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini dilakukan karena proyek tersebut diduga merugikan negara sampai Rp35 miliar dari nilai proyek Rp76 miliar.

Adalah Adrian Fahmi, seorang warga Ponorogo yang rela jauh-jauh datang ke KPK untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang ada di Ponorogo, khususnya terkait megaproyek Monumen Reog Ponorogo yang berada di Kecamatan Sampung.

Pelapor proyek monumen Reog Ponorogo. (VOI/Wardhany Tsa Tsia)

Adrian menyambangi Gedung Merah Putih KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/8/2024). Menurut penuturannya, pelaporan ini juga menyasar pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo dan swasta.

“Untuk pihak swasta yang diduga terlibat, yakni PT Widya Satria yang berkantor di Kota Surabaya dan owner PT tersebut adalah pimpinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Jawa Timur,” ujarnya.

Lampaui Tinggi Garuda Wisnu Kencana

Monumen Reog dan Museum Ponorogo ini dibangun di wilayah barat Ponorogo, tepatnya di atas gunung bekas galian tambang atau batu gamping di desa Sampung. Peletakan batu pertama MRMP dilakukan pada 11 Maret 2023, dihadiri Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.

Rencananya, Monumen Reog Ponorogo ini menjadi patung tertinggi di Indonesia.

Monumen ini diproyeksikan memiliki ketinggian 126 meter. Tinggi sampai puncaknya akan melampaui patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali yang berukuran 105 meter. Selain itu, monumen ini juga menggunakan bahan tembaga yang sama seperti yang digunakan di monumen GWK di Bali.

Tak hanya berfungsi sebagai tujuan wisata, Monumen Reog Ponorogo juga bakal menjadi sumber pengetahuan tentang sejarah Reog Ponorogo, yang tengah diusulkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) oleh UNESCO.

Selain itu, masyarakat Ponorogo dan sekitarnya juga diharapkan dapat merasakan manfaat besar dari keberadaan Monumen Reog Reog Ponorogo sebagai ikon baru. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mempertanyakan urgensi pembangunan Monumen Reog dan Museum Peradaban Ponorogo.

Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko saat meninjau pembangunan mega proyek MRMP di Desa Sampung, Ponorogo. (ANTARA/HO - Prokopim Ponorogo)

Sejumlah alasan dituturkan Trubus perihal mengapa pembangunan monumen itu sebenarnya tak terlalu penting, apalagi jika melihat biaya yang dikeluarkan mencapai puluhan miliar.

Pertama, Ponorogo bukanlah daerah yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai mata pencaharian utama warganya. Mengutip Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), salah satu potensi SDA desa Ponorogo adalah di bidang pertanian dan perkebunan, di mana sebagian besar mata pencaharian penduduk petani.

Karena itulah, Trubus menilai pembangunan MRMP Ponorogo sebagai ajang buang-buang anggaran. Selain itu, pembanguan Monumen Ponorogo yang berlokasi di kabupaten tidak akan secara signifikan mendongkrak sektor pariwisata.

“Sebenarnya tidak perlu semewah itu, sampai menelan biaya puluhan miliar. Tidak perlu lah ada monumen. Kalau hanya sekadar identitas, tidak usah terlalu mewah seperti yang dibangun sekarang," kata Trubus kepada VOI.

Tujuan pembangunan Monumen Reog Ponorogo sebagai upaya melestarikan tarian komunal tersebut juga kurang tepat, menurut Trubus.

Alih-alih membangun proyek mewah MRMP, Trubus menyebut penyelenggaraan atau pementasan yang lebih kekinian seharusnya dikedepankan untuk melestarikan tarian yang sempat diklaim Malaysia tersebut. Dengan begitu, peluang reog ponorogo dikenal masyarakat luas lebih besar.

“Urgensinya nggak ada pembangunan monumen ini. Padahal Reog ini kan ikon-nya Ponorogo dan sedang didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO, tapi kok pementasannya jarang sekali,” jelasnya.

Jadi Alat Politik

Reog yang kita kenal saat ini sebagai kesenian tradisional dari Ponorogo sempat mengalami masa-masa sulit, utamanya di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Ini terjadi karena reog dianggap sebagai kesenian yang akan membawa pengaruh merugikan bagi penjajah.

Pemerintah Belanda berusaha memecah-belah kesenian reog agar tidak memberontak. Pada masa penjajahan Jepang, reog Ponorogo bahkan menghilang. Para senimannya tidak menampakkan diri karena pementasan reog dilarang dan dikhawatirkan berfungsi untuk memobilisasi massa.

Perekumpulan reog tumbuh kembali setelah Indonesia merdeka, dan mulai ada pementasan pada 1950. Tapi saat itu reog banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Pada perode 1950 sampai 1959, banyak partai memanfaatkan kesenian reog untuk menarik massa pendukung. PKI, NU, dan PNI termasuk partai yang menggunakan reog dalam kampanye politik mereka.

Seniman menampilkan tari Reog Ponorogo saat warga berebut ketupat dalam Festival 1.001 Ketupat di Desa Kalimalang, Ponorogo, Jawa Timur, Senin, 10 Juni 2019. (ANTARA/Fikri Yusuf)

Namun ketika peristiwa G-30 S dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, kesenian reog kembali menghadapi masa sulit.

Banyak anggota perkumpulan barisan reog Ponorogo milik PKI yang tewas terbunuh. Pembantaian ini menyebabkan warga engan memainkan reog karena khawatir dianggap simpatisan PKI.

Reog akhirnya berani menampakkan diri pada 1969, sebagai pertunjukan kesenian dalam acara penutupan PON VII di Surabaya. Berkaca pada pengalaman tersebut, pemerintah Ponorogo mengeluarkan peraturan yang melarang kepemilikan organisasi reog oleh partai politik.