Bagikan:

JAKARTA – Biaya penyelenggaraan ajang Olimpiade terus meroket, sementara dari sisi ekonomi manfaat dari ajang itu tidak jelas. Olimpiade Paris 2024 menjadi ujian soal perlu tidaknya reformasi dalam proses penunjukan tuan rumah Olimpiade.

Olimpiade telah berkembang sangat pesat, sejak modernisasi diperkenalkan dalam pesta olahraga terakbar sejagat ini pada 1896. Tetapi modernisasi tersebut bukan tanpa risiko. Sejak pertengahan abad ke-20, biaya yang diperlukan untuk menggelar Olimpiade melesat tinggi.

Peningkatan biaya itu jelas menjadi beban bagi negara yang ditunjuk menjadi tuan rumah, sementara tidak diimbangi pemasukan yang memuaskan. Kenyataan tersebut membuat banyak ekonom berpendapat bahwa manfaat menjadi tuan rumah Olimpiade terlalu dibesar-besarkan, bahkan sama sekali tidak bermanfaat!

Sprinter kenamaan AS, Carl Lewis beraksi dalam Olimpiade Los Angeles 1984 yang merupakan satu-satunya Olimpiade yang digelar oleh swasta dan menghasilkan keuntungan 215 juta dolar AS. (Sports Illustrated/Manny Millan)

Bukannya untung, negara malah dibebani tambahan utang. Belum lagi kewajiban untuk merawat sarana olahraga yang sudah dibangun juga memerlukan biaya yang tidak murah.

“Sudah jelas bagi kota-kota penyelenggara, bahwa dengan cara lama pergelaran Olimpiade hanya menjadi bencana finansial. Biayanya sangat mahal, namun harapan untuk menghasilkan keuntungan begitu kecil,” ujar Victor Matheson, profesor ekonomi di College of The Holy Cross, Worcester, Massachusetts, AS seperti dikutip CNN.

Biaya Bidding Mahal

Menjadi tuan rumah Olimpiade memang mahal. Dimulai dari proses penunjukkan lewat bidding, biaya besar sudah harus dikeluarkan peminat. Saat ini setidaknya perlu 100 juta dolar AS, sekitar Rp1,6 triliun, sebagai jaminan untuk dapat mengikuti bidding atau lelang penyelenggara.

Jika menang dan terpilih sebagai penyelenggara, biaya yang bakal dikeluarkan sudah pasti membengkak. Pembengkakan biaya pun bukan main besarnya, bahkan bisa mencapai 6 kali lipat dari anggaran awal.

Menurut penelitian Alexander Budzier and Bent Flyvbjerg yang berjudul “The Oxford Olympics Study 2024: Are Cost and Cost Overrun at the Games Coming Down?”, Olimpiade Barcelona 1992 pada awalnya mengalokasikan anggaran sebesar sekitar 3 miliar dolar AS. Namun dalam tahap realisasi, anggaran membengkak menjadi nyaris 12 miliar dolar AS.

Demikian juga dengan Olimpiade Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004, Beijing 2008, London 2012, Rio de Janeiro 2016, Tokyo 2020, dan Paris 2024. Olimpiade Paris 2024 yang disebut-sebut sebagai Olimpiade termurah mengalokasikan anggaran 4 miliar dolar AS, namun realisasinya mencapai lebih dari 8 miliar dolar AS. Bahkan biaya Olimpiade Los Angeles 2028 sudah diprediksi bakal menggelembung lebih dari dua kali lipat dari anggaran awal, yang sekitar 5 miliar dolar AS.

Presiden IOC, Thomas Bach (kedua dari kiri) membuka sidang umum IOC di Sochi, Rusia pada 5 Februari 2014 berbarengan dengan penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi. (AP Photo/David Goldman)

“Setelah Olimpiade Meksiko 1968 dan Munich 1972 yang diwarnai kekerasan yang mematikan dan Olimpiade Montreal 1976 mengalami pembengkakan biaya yang luar biasa, hampir tidak ada kota yang berminat menjadi penyelenggara Olimpiade 1984,” tulis Andrew Zimbalist, ekonom olahraga dari Smith College di Northampton, Massachusetts, AS dalam bukunya Circus Maximus.

Olimpiade 1984 seharusnya digelar di Teheran, Iran namun batal dan dialihkan ke Los Angeles. Melalui kehebatan pemasaran, panpel Olimpiade Los Angeles 1984 berhasil melibatkan swasta dalam penyelenggaraan tanpa menggunakan banyak anggaran negara. Los Angeles 1984 menjadi satu-satunya Olimpiade yang mendatangkan keuntungan, dengan laba yang diraih sebesar 215 juta dolar AS.

Gangguan Korupsi

Satu hal lagi yang sering menjadi gangguan dalam Olimpiade sejak proses bidding hingga penyelenggaraan adalah korupsi. Salah satu yang menghebohkan adalah korupsi dalam penyelenggaraan Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Panpel Rio 2016 terbukti menyuap anggota IOC agar memilih kota terkenal di Brasil tersebut sehingga menjadi tuan rumah Olimpiade.

Aksi suap tersebut membuat Ketua Komite Olimpiade Brasil, Carlos Arthur Nuzman divonis penjara selama 30 tahun pada 2021, usai menjalani persidangan sejak 2017. Korupsi yang dilakukan Nuzman juga menyeret mantan Gubernur Rio de Janeiro, Sergio Cabral, yang divonis 10 tahun penjara. Cabral didakwa bekerjasama dengan Nuzman untuk menyogok IOC demi Olimpiade Rio 2016.

Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 saat ini juga masih terus diubek-ubek, untuk mencari sisi-sisi koruptifnya. Yang menjadi catatan, Tokyo 2020 menempati urutan kedua dalam kasus doping. Ada 29 kasus doping tercatat di Olimpiade Tokyo, dan itu jauh di bawah Olimpiade London 2012 yang mencapai 130 kasus!

Arena bola voli pantai Olimpiade Athena 2004 yang dalam kondisi terbengkalai saat difoto pada 2020. (AAP)

“Korupsi olahraga meliputi banyak bentuk, mulai pengaturan hasil pertandingan, doping, pengaburan besaran gaji pekerja, percaloan tiket pertandingan, atlet yang sengaja mengalah karena berkaitan dengan judi, atau suap yang berkaitan dengan pemilihan sebuah kota sebagai tuan rumah,” ujar Rocco Porreca, profesor ekonomi olahraga dari Oxford Brookes Business School di Inggris.

“Olahraga pada dasarnya adalah kemurnian, sesuatu yang hitam putih. Namun dalam evolusinya menjadi abu-abu, mengarah pada sebuah bisnis sangat besar yang akhirnya membuka peluang untuk korupsi,” kata Porreca lagi.

IOC di bawah kepemimpinan Thomas Bach sudah berusaha mereformasi Olimpiade agar lebih ramah dan murah, lewat kebijakan Olympic Agenda 2020. Pada intinya, reformasi ini dijabarkan dengan pengurangan biaya bidding, mengizinkan tuan rumah untuk memanfaatkan fasilitas olahraga yang sudah ada tanpa harus membangun baru, mewajibkan penggunaan auditor independen, dan beberapa langkah transparansi lain.

Mantan Ketua Komite Olimpiade Brasil, Carlos Arthur Nuzman yang divonis penjara 30 akibat kasus korupsi di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. (Sin Cortapisa)

Namun beberapa ekonom yang meneliti pergelaran Olimpiade dari sisi ekonomi berpendapat, reformasi Olympic Agenda 2020 belumlah cukup. Matheson misalnya, dia mengatakan IOC seharusnya membebaskan anggota dari negara-negara berkembang untuk menggelar Olimpiade.

“IOC seharusnya menghadiahkan hak sebagai tuan rumah Olimpiade kepada negara-negara kaya, yang jelas mempunyai lebih banyak uang dibandingkan negara berkembang,” kata Matheson.

Pastinya, IOC harus benar-benar yakin bahwa pergelaran Olimpiade menghasilkan efek berkelanjutan untuk sebuah negara, baik berupa ekonomi, sarana dan prasarana, juga lapangan kerja. Bukan seperti yang terjadi saat ini, Olimpiade mendorong pembangungan berkelanjutan hanya sekedar wacana. Yang terjadi justru meninggalkan bencana ekonomi di mana-mana.