Buntut Demo Sopir Mikrotrans, Heru Budi Diminta Evaluasi Direksi Transjakarta
JAKARTA - Ratusan sopir Mikrotrans mogok beroperasi dan menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta pada Selasa, 30 Juli. Pj Gubernur Jakarta Heru Budi pun diminta mengevaluasi seluruh kinerja Transjakarta.
Para sopir merasa adanya diskriminasi terhadap pembagian kuota penyerapan armada yang bergabung dalam sistem JakLingko hingga pembayaran rupiah per kilometer dari Transjakarta yang dianggap tak sepadan.
Dari masalah ini, Forum Warga Kota (FAKTA) mendesak Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk mengevaluasi kinerja direksi PT Transjakarta.
"Dengan adanya aksi mogok, FAKTA meminta kepada PJ Gubernur untuk mengevaluasi total kinerja manajemen Transjakarta dan mengambil langkah tegas agar dikemudian hari tidak terjadi lagi aksi serupa yang merugikan pengguna Jaklingko, akibat ketidakmampuan manajemen Transjakarta," kata Ketua FAKTA Ary Subagyo dalam keterangannya, Rabu, 31 Juli.
Ary menilai, tak beroperasinya puluhan rute Mikrotrans ini berdampak pada penelantaran warga yang membutuhkan layanan transportasi JakLingko setiap harinya.
Sehingga, Transjakarta sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) dituntut untuk mempertanggungjawabkan masalah yang diakibatkan pengelolaan manajemennya.
"Transjakarta harus bertanggung jawab atas keterlantaran penumpang akibat ketidakberesan mengelola transportasi publik di Jakarta karena diskriminasi terhadap operator," ujar Ary.
Selasa, 30 Juli, ratusan sopir Mikrotrans menggelar aksi unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta. Mereka juga membawa armada-armada yang diparkir di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan. Kemacetan pun tak terhindarkan.
Para sopir Mikrotrans berdemo dengan sejumlah tuntutan. Salah satunya mengeluhkan pembagian kuota pengadaan Mikrotrans sebagai pengganti armada reguler seperti Metromini dan angkot untuk para operator yang sudah bermitra.
Baca juga:
Mereka menilai adanya diskriminasi dari Transjakarta dalam kebijakan JakLingko. Dari 11 operator mitra, terdapat 1 operator yang seolah dianakemaskan oleh Transjakarta karena mendapat kuota penyerapan armada paling banyak untuk dioperasikan dibanding yang lainnya.
Kemudian, sopir Mikrotrans ini juga merasa pembayaran rupiah per kilometer armada yang ditentukan Transjakarta tidak sepadan. Sehingga, mereka tak mendapatkan gaji setara UMP