Nasib Meghan Markle dan Putri Diana: Serupa tapi Tak Sama
Mengulas drama percintaan anggota kerajaan Inggris seperti tak ada habisnya. Banyak kisah-kisah serupa meski tak sama di tiap generasi. Sebelumnya, kisah Edward VIII telah kita bahas lewat artikel "Raja Edward VIII Lepas Takhta Buckingham Demi Janda Wallis Simpson". Kini, artikel pamungkas Tulisan Seri khas VOI akan mengungkap benarkah kisah Meghan Markle dan Putri Diana betul-betul mirip seperti yang dibicarakan banyak orang?
Bila melihat apa yang dilakukan Meghan Markle yang telah membeberkan sisi lain kerajaan Inggris, mulai dari tekanan tugas hingga adanya dugaan rasisme, sekilas tampak serupa dengan yang dilakukan oleh Putri Diana lebih dari dua dekade silam. Waktu itu, wanita bernama lengkap Diana Spenser juga turut membongkar "aib" kerajaan soal tekanan tugas dan perselingkuhan suaminya, Pangeran Charles.
Dalam wawancaranya bersama presenter kondang Oprah Winfrey 7 Maret lalu, Meghan banyak mengungkap terkait tekanan tugas yang membuat dirinya krisis kesehatan mental. Niat untuk melakukan bunuh diri pun sempat terbesit di benaknya. Ia bersama suaminya betul-betul merasa berjuang sendiri. Sedang pihak kerajaan tak melalukan apa-apa –jika tidak dikatakan melakukan pembiaran.
"Mereka berkata, mereka prihatin melihat betapa buruknya itu, tapi tidak ada yang bisa kami lakukan untuk melindungimu karena kamu bukan pegawai yang dibayar di institusi ini,” ungkap Meghan.
Begitu pula dengan masalah rasisme. Megan banyak berbicara terkait respon keluarga kerajaan kala dirinya mengandung anak dari Pangeran Harry. Menurut penuturannya, ada salah seorang anggota kerajaan yang mengkhawatirkan tentang seberapa gelap warna kulit anaknya.
Bayi mereka, kata Meghan kelak tidak akan diberikan keamanan, tidak akan diberi gelar karena warna kulitnya. Meski begitu Meghan enggan mengungkap siapa sosok yang berbicara. "Saya pikir itu akan sangat merugikan mereka.”
Aksi Meghan untuk buka suara tampak didukung penuh oleh sang suami, Pangeran Harry. Ia kemudian rela melepas takhtanya sebagai penerus Kerajaan Inggris untuk menjadi jelata demi pujaan hati. Bagi Pangeran Harry, hal itu adalah pilihan yang paling bijak, demi melindungi diri pribadi dan istrinya dari krisis kesehatan mental.
"Kita semua tahu seperti apa pers di Inggris, dan itu menghancurkan kesehatan mental saya. Ini tidak sehat. Jadi, saya melakukan apa yang suami dan ayah mana pun akan lakukan,” ujar Pangeran Harry dikutip CNN, Jumat, 19 Maret.
Pengakuan Meghan pun lantas mendapat sorotan dunia. Utamanya bagi mereka yang sedari dulu mempertanyakan kehadiran monarki di era modern ini. Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Evi Fitriani mengungkap dengan adanya pernyataan dari Meghan makin banyak orang Inggris yang lagi-lagi mempertanyakan eksistensi monarki. Sebab, Kerajaan Inggris telah mengalami krisis kepercayaan publik.
"Banyak orang yang mempertanyakan buat apa bayar pajak untuk biayai kehidupan orang ningrat? Apa gunanya untuk rakyat?" ucapnya dikutip Liputan6.com, Jumat, 19 Maret.
Di posisi internasional pun sama. Pengakuan Meghan soal rasisme akan menurutkan kredibilitas Inggris yang sering mengkritik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia soal penerapan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaliknya, dunia internasional akan balik mempertanyakan hal serupa pada Inggris.
"Dampaknya membuat kritik Inggris pada negara lain tidak kredibel atau kita bisa bilang, apa dasarmu mengkritik kami sementara itu juga terjadi di dalam negerimu sendiri. Nggak usah jauh-jauh, mereka itu kan melakukan penjajahan ratusan tahun. Penjajahan itu pada dasarnya rasisme," tambahnya.
Lebih lengkap terkait sejarah panjang Kerajaan Inggris, kami telah mengulasnya panjang lebar lewat artikel “Melacak Akar Rasisme Keluarga Kerajaan Inggris hingga ke Eton College.”
Celoteh Diana
Selain Meghan, orang yang pernah membeberkan "rahasia dapur" Istana Buckingham tak lain adalah ibu dari suaminya, Putri Diana. Memang, Meghan dan Diana sama-sama membocorkan "aib" kerajaan, tapi bedanya, Lady Di juga berhadapan dengan suaminya sendiri, Pangeran Charles.
Sebab dalam wawancaranya dengan BBC pada 1995, Diana membeberkan masalah rumah tangganya, termasuk perselingkuhan sang suami, Pangeran Charles dengan Camilla Parker Bowles. Diana bak seorang petarung tunggal yang berjuang melawan keluarga "raksasa".
Dalam program bertajuk Panorama, Putri Diana membeberkan konflik rumah tangganya kepada jurnalis BBC, Martin Bashir. Sang jurnalis bertanya kepada Putri Diana apakah ia mengetahui dugaan perselingkungan Charles dengan Camilla. Putri Diana menjawab: Oh, naluri seorang wanita sangat baik.
Putri Diana mengaku tahu tentang skandal itu. Perselingkuhan itu, kata Putri Diana dapat dilihat dari perubahan perilaku Charles. Setelahnya, Putri Diana membeberkan rasa frustasi atas perselingkuhan sang suami dengan mengungkap dirinya memiliki penyakit rahasia, yakni bulimia. Penyakit itu membuat Putri Diana dapat makan sampai lima kali sehari.
“Saya melakukannya pada diri saya sendiri karena harga diri saya sedang jatuh. Dan saya tidak berpikir saya layak atau berharga. Saya mengisi perut empat atau lima kali sehari. Beberapa melakukannya lebih banyak, dan itu memberi saya rasa nyaman," kata Putri Diana dalam wawancara.
Selain itu, langkah-langkahnya Putri Diana menjalani hidup sering kali tak terprediksi. Putri Diana bahkan jadi pionir yang mengubah kekakuan warga Inggris dalam melihat tradisi keluarga kerajaan. Berbeda dengan Meghan Markle yang masih memunculkan pro dan kontra. Putri Diana malah dicintai oleh warga dunia secara total, termasuk menyukai tiap kontroversinya.
Satu sisi, Diana tergambar fotogenik, lincah, glamor. Ia juga selalu berhasil ada di posisi korban media massa. Sisi lainnya, Diana dikenal manipulatif, intuitif, dan bintang media massa. Kepopuleran itu bahkan dirasakan hingga era kekinian, sekalipun Putri Diana telah telah meninggal dua dekade lalu, tepat di usia 36 tahun.
“Keluarga kerajaan, setelah kematian Diana, telah berutang ketekunan mereka padanya. Sang ratu bahkan sangat waspada untuk mempelajari pelajaran dari pengalaman. Dan dalam hal ini pelajarannya adalah, 'Jangan mengambil sisi opini publik yang salah,'” tutur seorang kolumnis untuk The New York Times, Jumat, 19 Maret.
Ikuti Tulisan Seri edisi ini: "Opera Cinta di Istana Britania"