Raja Edward VIII Lepas Takhta Buckingham Demi Janda Wallis Simpson
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Mundurnya Pangeran Harry dan Meghan Markle karena "kerasnya" hidup di Istana Buckingham, seperti dijelaskan sebelumnya, bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebagaimana telah kita singgung sedikit dalam "Melihat Kehidupan Meghan Markle dan Pangeran Harry setelah Keluar dari Kerajaan Inggris", dalam sejarah berdirinya Istana Buckingham, kisah serupa pernah terjadi pada sekitar awal abad 20. Tulisan Seri khas VOI "Opera Cinta di Istana Britania" selanjutnya, tentang bagaimana seorang raja rela melepas takhtanya demi cinta. 

Hidup sebagai seorang raja atau menjadi bagian dari penghuni istana, hampir menjadi dambaan semua orang. Namun hal itu tak berlaku bagi Pangeran Harry yang lebih memilih hidup "bebas" bersama istrinya, Meghan Markle. 

Belakangan ini, jagat dunia dibuat heboh terkait mundurnya Pangeran Harry dan Meghan Markle dari tugas Kerajaan Inggris. Keputusan yang keluar pada Jumat 19 Februari itu telah final. Dalam artian, keduanya secara resmi telah melepaskan gelar kehormatannya dan resmi menjadi rakyat biasa.

“Ratu telah menulis konfirmasi bahwa dengan mundur dari pekerjaan sebagai anggota keluarga Kerajaan. Tidak mungkin untuk melanjutkan tanggung jawab dan tugas yang akan datang untuk melayani publik,” isi pernyataan resmi Istana Buckingham dikutip BBC.

Senapas dengan itu, Pangeran Harry mengungkap keputusannya menjadi jelata tak lain karena perihal tekanan kehidupan di dalam lingkungan kerajaan. Kondisi itu diperparah oleh pemberitaan media-media Inggris yang sering kali kelewatan mewartakan rumah tangga tangganya. Pemberitaan itu, kata Harry membuatnya makin tertekan. Sebagai bentuk cinta kasih kepada pasangannya, menjadi jelata adalah pilihan paling bijak bagi Pangeran Harry.

"Kita semua tahu seperti apa pers di Inggris, dan itu menghancurkan kesehatan mental saya. Ini tidak sehat. Jadi, saya melakukan apa yang suami dan ayah mana pun akan lakukan,” ujar Pangeran Harry dikutip CNN.

Setelah itu, Pangeran Harry bersama keluarganya kemudian pindah ke Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Mereka pun jadi lebih terbuka kepada dunia. Termasuk saat mereka melakukan wawancara luar biasa dengan Oprah Winfrey baru-baru ini. Dalam wawancara itu, mereka berdua banyak mengungkap kembali terkait gambaran gaya hidup, tekanan tugas, rasisme, hingga pelayanan di dalam lingkungan kerajaan. Imbasnya, tak sedikit yang mendukung Pangeran Harry dan Megan Markle. Sebaliknya, banyak pula yang membenci keduanya.

Kisah Raja Edward VIII lepas takhta

Mungkin bila ada peringkat kisah cinta paling romantis abad ini, Pangeran Harry dan Megan Markle bisa jadi jawaranya. Sebab apa lagi yang lebih romantis dari seorang calon raja yang rela melepas takhtanya demi sang pujaan hati? Akan tetapi, kisah ini bukan yang pertama di Kerajaan Inggris. 

Kisah ini terjadi bukan pada seorang calon raja, seperti Pangeran Harry, melainkan kisah cinta "buta" dari seorang Raja Edward VIII. Atas cintanya kepada seorang janda cerai, Wallis Simpson, Raja Edward rela melepaskan takhta sebagai orang nomor satu di Inggris pada 1936. Begini kisahnya.

Seperti sudah diulas pada artikel sebelumnya, salah satu hal "terlarang" dari seorang raja atau calon raja adalah menikahi seseorang yang telah bercerai. Edward tahu hal ini akan menjadi polemik. Namun ia berkeras untuk lebih mengejar cintanya dan rela melepas takhtanya. 

Dikutip dari Robert Benchley dalam tulisannya di Majalah The New Yorker berjudul "A Royal Love Affair: How King Edward VIII Lost His Throne" (1936), sebelum mundur dari takhtanya, Raja Edward VIII lebih dulu mendiskusikan niatan itu bersama Perdana Menteri Inggris kala itu, Stanley Baldwin. Raja Edward VIII menyakini Baldwin bahwa dirinya tak meminta banyak hal kepada rakyatnya selapas nanti turun takhta. Raja Edward VIII hanya ingin rakyatnya memahami jika dirinya memiliki hak untuk mencintai dan menikahi pasangannya.

“Saya tidak meminta apa pun dari orang yang saya layani. Saya telah memberi banyak. Saya meminta satu bantuan sekarang. Saya tidak menanyakannya. Saya menuntutnya. Saya menuntut hak untuk menikahi wanita yang saya cintai, dan saya akan menikahinya," ungkap Raja Edward VIII dikutip Robert Benchley.

Raja Edward VIII dan Walis Simpson (Sumber: Wikimedia Commons)

Lantaran mendengarkan keinginan langsung dari Raja Edward VIII, Baldwin langsung berlinang air mata. Baldwin berkali-kali menegaskan jika yang yang dilakukan oleh rajanya itu adalah hal yang salah. Raja Edward, oleh Baldwin diminta untuk berpikir panjang lebar terlebih dahulu. Namun, ia bergeming. 

Raja Edward bersikukuh untuk memilih pujaan hatinya. "Saya tidak dapat menjadi raja, tanpa bantuan wanita yang saya cintai," ujar Raja Edward.

Puncaknya, berita pelepasan takhta Raja Edward VIII begitu menghebohkan. Kalangan monarki Inggris adalah kalangan utama yang dibuat kalang-kabut. Lantaran itu seisi dunia lalu menyoroti dengan skeptis perihal cinta buta ala Edward dengan seorang janda cerai asal AS tersebut. Ada yang memuji, ada pula yang menganggap hal itu sebentuk kecerobohan.

Berita itu bahkan sampai ke Indonesia. Sejarawan Ong Hok Ham membenarkan hal itu. Bukan saja pada tahun Raja Edward melepaskan takhta. Melainkan keriuhan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Utamanya, berita Raja Edward VIII lepas takhta begitu membekas di kalangan ibu-ibu rumah tangga yang haus informasi – jika tidak mau dibilang selalu ingin tahu.

“Sebagaimana kebanyakkan ibu rumah tangga, ibu saya tertarik pada kisah para raja dan putri kerajaan, seperti kisah Raja Edward VIII dari Inggris yang turun takhta agar dapat menikahi seorang janda AS, Wallis Simpson, atau kisah Ratu Astrid dari Belgia yang tertabrak mati oleh mobil yang dikemudikan oleh suaminya sendiri, Raja Leopold II,” ungkap Ong Hok Ham dalam pengantar bukunya Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002).

Infografik (VOI/Raga Granada)

Cinta buta

Mungkin bisa dibilang Pangeran Harry dan Raja Edward VIII salah dua orang yang tengah dilanda cinta buta. Kalau iya, bagaimana rasa cinta bisa membuat seorang raja sekalipun rela mengorbankan hal yang paling berharga dengan melepas takhta yang banyak diimpikan banyak orang tersebut?

Untuk menjawab hal itu kami menghubungi Psikolog, Dya Adis Putri Rahmadanti. Sebelum masuk pada tahap cinta buta, mula-mula Adis menjelaskan narasi proses seseorang jatuh cinta. Saat jatuh cinta, ada 3 bagian dari otak yang bekerja langsung sesuai sistemnya.

“Pertama, sistem otak reptilian yang mengatur gairah dan dorongan seksual. Yang kedua adalah sistem otak infatuasi yang membuat seseorang menyeleksi dan mengobsesikan seseorang, pada sistem ini, dopamine –Hormon bahagia-- yang bekerja. Ketiga, sistem otak attachment, bagian yang menghasilkan rasa bahagia, dan stabil dan memproduksi endorphine, juga salah satu hormon hahagia,” ungkap Adis kepada VOI, Selasa, 16 Maret.

Adis menambahkan cinta umumnya dapat terjadi pada sistem yang kedua. Pada sistem itu, seseorang begitu terobsesi dengan calon pasangannya. Ia merasa cukup puas dengan pasangannya, dan menganggapnya pasangan ideal. 

Padahal, bagi orang lain belum tentu. Ketika perasaan itu semakin tinggi, maka sesorang kemudian masuk pada tahap cinta buta. Suatu fase di mana seseorang tidak mampu berpikir jernih dan hanya mengandalkan emosinya saja.

Kata Adis, cinta buat bukan tanpa risiko. Pembiaran perilaku buruk pasangan dan tak mau mendengarkan nasehat orang lain adalah beberapa di antaranya. Terlebih dari cinta buta itu malah menimbulkan rasa tidak percaya diri dan lain sebagainya. 

Dalam posisi ini, banyak orang melihat cinta buta layaknya cinta sejati. Padahal keduanya jauh berbeda. Malah cinta buta, kata Adis dapat menjadi musabab dari munculnya obssesive love (rasa memiliki yang berlebih) dan Attacment Disorder (perasaan takut disakiti).

Akan Tetapi, persepsi cinta buta tak melulu negatif. Sekelompok ilmuwan di University College London telah membuktikan hal itu dalam surveinya yang dipublikasikan jurnal Neurolmage. Dalam penelitian yang meneliti secara khusus terkait cinta buta, disimpulkan bahwa cinta buta memiliki nilai positif. Positif di sini berarti dari cinta buta itu telah melahirkan perasaan cinta tulus dan tak bersyarat.

Dan hubungan Raja Edward VII dengan Wallis Simpson termasuk ke dalam cinta buta yang positif. Hubungan keduanya langgeng hingga 35 tahun, sampai ajal menjemput Raja Edward VIII tahun 1972. Walau ditinggal Edward lebih dulu, Wallis tetap setia menjanda, sampai dirinya tutup usia di tahun 1986.

Berdasarkan wasiatnya, Wallis kemudian dimakamkan di sebelah liang makam suaminya, Raja Edward VIII. Mungkin inilah perwujudan dari yang namanya cinta sehidup, semati.

Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Opera Cinta di Istana Britania