Mendikbud Muhadjir Effendy Akan Hilangkan Citra Sekolah Favorit dan Buangan dalam Memori Hari Ini, 16 Juli 2018
JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 16 Juli 2018, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy menegaskan tidak akan ada lagi citra sekolah favorit dan sekolah buangan. Semua sekolah yang ada akan setara dengan sistem zonasi.
Sebelumnya, Muhadjir kerap menggelorakan kebijakan zonasi sebagai ajian mengurangi ketimpangan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Muhadjir menyebut gagasannya bermaksud baik. Ia ingin mencegah penumpukan SDM yang berkualitas di suatu wilayah tertentu.
Pendidikan yang tak merata di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Sekolah yang ada - utamanya negeri - yang berkualitas tak banyak. Kondisi itu membuat sekolah berlabel favorit jadi buruan. Masalah muncul.
SDM berkualitas justru menumpuk di satu tempat. Guru-guru yang tersertifikasi dan murid-murid yang cerdas berkumpul jadi satu. Mendikbud Muhadjir mencoba menawarkan solusi. Muhadjir tak ingin lagi ada sekolah favorit non favorit –sering disebut sekolah buangan.
Ia mencoba menggelorakan sistem zonasi. Sebuah sistem pengaturan proses penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Kebijakan itu digodok supaya peserta didik yang prestasi belajarnya baik/tinggi –umumnya dari latar belakang keluarga kaya tak menumpuk di satu tempat.
Baca juga:
- Susi Pudjiastuti Kesal ke Penyelam Injak Terumbu Karang dalam Memori Hari Ini, 15 Juli 2018
- Kominfo Blokir Aplikasi Telegram dalam Memori Hari Ini, 14 Juli 2017
- Michael Jackson dan Eddie Van Halen Sepanggung Bawakan Lagu Beat It dalam Memori Hari Ini, 13 Juli 1984
- Mahfud MD Bantah Legalkan Ateisme dan Komunisme dalam Memori Hari Ini, 12 Juli 2012
Penumpukan itu membuat sekolah dengan berlabel sekolah buangan kebagian apes. Sekolah-sekolah itu hanya dihuni oleh mereka yang notabene berprestasi belajar kurang baik/rendah – umumnya dari kalangan keluarga tidak mampu.
Muhadjir pun melihat sendiri bagaimana orang yang prestasi belajarnya rendah terpaksa harus sekolah jauh-jauh. Penyebabnya karena sekolah yang ada di dekat lingkungannya tak dapat menampung karena keterbatasan kecerdasan atau kurang mampu.
Kondisi itu membuat Muhadjir miris. Masalah itu bak mempertonton ketidakadilan. Ia pun mulai menerapkan uji coba zonasi pada 2017. Uji coba itu sengaja dilakukan untuk mengetahui kesiapan kemendikbud dan jajarannya dalam mengantisipasi jalannya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi.
"Tidak boleh ada satu pun siswa yang tidak mendapatkan bagian kursi, tidak boleh lagi ada sekolah yang favorit atau tidak. Semua harus dibikin semerata mungkin karena program kita ini adalah program pemerataan pendidikan yang berkualitas. Setiap daerah mempunyai otonomi. Jadi, bikin yang luwes karena kebijakan itu baru tahun ini. Yang penting semangat dari Permendikbud itu supaya dilaksanakan." kata Muhadjir dikutip laman Kumparan, 11 Juli 2017.
Penerapan dari sistem zonasi memunculkan pro dan kontra. Mereka yang pro menganggap anak-anak tak perlu mencari sekolah jauh dari rumah. Mereka yang kontra tak kalah banyak. Mereka menyebut pemerintah menerapkan kebijikan tanpa berkaca dulu terkait kesiapan instrumen pendidikan.
Orang tua pada dasarnya menginginkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Makanya, mereka banyak mengincar sekolah favorit. Sekolah-sekolah yang berada di sistem zonasi bukan sekolah terbaik dan kualitas tenaga ajar dianggap meragukan.
Muhadjir menerima segala bentuk kritikan dan masukan. Namun, ia tetap menegaskan akan menghilangkan label sekolah favorit dan sekolah buangan pada 16 Juli 2018. Ia tetap pada komitmen awal supaya pendidikan yang ada sama rata.
"Setiap ada program yang baru pasti mendapat pro-kontra. Namun, sistem zonasi ini merupakan pilihan pemerintah untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan. Jika tiga ekosistem ini bersinergi dengan baik, maka anak-anak didik akan terlindungi dari pengaruh-pengaruh negatif, karena ada kerja sama yang baik dari sekolah, masyarakat, dan orang tua.”
"Sistem zonasi melihat dulu tempat tinggal siswanya baru melihat nilai akademiknya. Sehingga nantinya tidak ada lagi sekolah yang menjadi favorit atau eksklusif, semua pendidikan sama di semua sekolah," jelas Muhadjir sebagaimana dikutip laman Detik.com, 17 Juli 2018.