Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, lima tahun yang lalu, 11 Desember 2019, Wakil Presiden (Wapres), Maruf Amin mengungkap setuju dengan penghapusan ujian nasional (UN) asal ada penggantinya. Maruf ingin sistem penggantinya dapat lebih efektif sebagai tolok ukur akademis.

Sebelumnya, wacana penghapusan ujian nasional sudah hadir sejak era Muhadjir Effendy. Keinginan itu tak berjalan mulus. Tentangan muncul di mana-mana. Pemerintah dianggap belum mampu menyiapkan tolok ukur akademis pengganti UN.

UN pernah menjadi tolok ukur kelulusan siswa. Kondisi itu kerap bikin pusing guru, orang tua, hingga anak sekolah. Barang siapa yang belajar sungguh-sungguh akan lulus. Sedang mereka yang tak lulus harus berpuas diri ikut ujian kesetaraan.

Belum lagi urusan aib tak lulus UN. Konon, ada yang sampai bunuh diri karena malu tak lulus. Kondisi itu memancing banyak guru dan siswa menggelar doa bersama maupun ritual tertentu. Namun, semua berubah kala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era 2014-2016, Anies Baswedan mereduksi ‘kekuatan’ UN.

UN tak lagi dijadikan satu-satunya faktor kelulusan pada 2015. Sekolah nanti akan mengakumulasi nilai-nilai lain untuk menentukan kelulusan. Masalah muncul. Pengganti Anies, Mendikbud era 2016-2019 Muhadjir Effendy ingin menghapus total UN dari sistem pendidikan anak sekolah.

Potret pelaksanaan ujian nasional (UN). (ANTARA)

Kondisi itu membawa polemik baru. Anies yang mereduksi UN saja tak habis pikir. Ia meyakini bahwa UN adalah bagian penting dalam proses seleksi ke jenjang lebih lanjut. Jika UN dihapus pemerintah, empunya kuasa harus memilih opsi pengganti yang mempuni.

Suatu penilaian yang benar-benar bisa menjadi tolok ukur akademis siswa. Masalahnya jika tak ada masalah penghapusan UN hanya akan membawa masalah baru. Belakangan urusan menghapus UN hanya ditataran ide saja.

"Yang ini saya bingung, nggak tahu buat apa. Nanti kalau anak daftar dari SMP ke SMA pakai nilai apa coba. Kepala sekolah mau menyeleksi anak pakai apa, nanti kalau ke jenjang lebih tinggi pakai apa, harus dipikirkan matang-matang.”

"Kalau masalahnya UN dibuat syarat kelulusan, jadi menakutkan. Sudah dua tahun tidak jadi syarat kelulusan. Pak Mendikbud bilang UN menakutkan. Pak Mendikbud lihat nggak UN dua tahun ini sudah tidak menakutkan. Nggak ada lagi doa yang aneh-aneh, kumpul-kumpul. Jadi yang menakutkan dari UN sudah selesai dua tahun lalu," jelas Anies sebagaimana dikutip laman detik.com, 27 November 2016.

Pemerintahan Mendikbudristek era 2019-2024, Nadiem Makarim mencoba melakukan keinginan yang sama. Nadiem ingin menerapkan empat program pembelajaran nasional, salah satunya menghapus UN. Nadiem ingin menarapkan opsi lain setelah UN terakhir pada 2020.

Nantinya, UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen itu terjadi kemampuan bernalar menggunakan bahasa, hingga pendidikan karakter. Keinginan Nadiem menghapus UN menarik perhatian Wapres, Maruf Amin pada 11 Desember 2019.

Maruf menegaskan tak masalah jika UN dihapus asal ada penggantinya. Nadiem diharuskannya mampu mengakomodasi standar pendidikan yang berbeda-beda di daerah. Nadiem juga perlu paham bahwa kemampuan siswa di berbagai daerah tak bisa dipukul rata.

Selama ini UN sudah cukup baik mengakomodasi urusan pemberian nilai anak sekolah di daerah. Jika itu tak mampu disiapkan oleh Nadiem, maka lebih baik UN tak dihapuskan.

“Kalau mau mengganti UN, harus ada alat ukur yang efektif yang bisa mengukur standar daripada pendidikan di masing-masing daerah. Penting, sebab masih meningkatkan standar-standar yang ada, (misalnya) Papua begini. Itu keliatan kemampuannya.”

“Pendidikan itu selain melahirkan, memiliki kompetensi, juga memiliki integritas, termasuk tata nilai. Maka UN itu kan alat ukur untuk mengukur standar daripada anak didik dari berbagai tingkatan,” terang Maruf Amin sebagaimana dikutip laman ANTARA, 11 Desember 2019.