DPA, Menghadapi Tantangan Zaman atau Menoleh ke Belakang?

Pembentukan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi sorotan tajam di tengah gejolak politik Indonesia saat ini. Ada yang menilai langkah ini sebagai kebutuhan zaman, sementara yang lain mencurigai adanya agenda terselubung yang mengancam demokrasi. Apakah kita benar-benar memerlukan lembaga ini kembali?

DPA pertama kali dibentuk oleh Presiden Sukarno sebagai lembaga penasehat tertinggi negara. Namun, di era Orde Baru, fungsinya mulai dikritisi hingga akhirnya dibubarkan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada tahun 2003. Pembubaran ini dianggap sebagai langkah menuju efisiensi dan penguatan demokrasi, seiring dengan amandemen UUD 1945 yang menghapus keberadaan DPA sebagai lembaga negara.

Kini, wacana untuk menghidupkan kembali DPA menggantikan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kembali mencuat. Badan Legislasi (Baleg) DPR berargumen bahwa perubahan ini diperlukan untuk menjawab tantangan zaman dan memberikan masukan strategis yang lebih komprehensif bagi presiden. Tetapi, apakah benar demikian?

Wantimpres adalah lembaga yang memberikan nasihat kepada presiden, dengan fokus pada isu-isu tertentu yang diamanatkan oleh presiden. Sedangkan DPA, berdasarkan sejarahnya, memiliki peran yang lebih luas dan bersifat strategis dalam memberikan nasihat terhadap kebijakan negara secara umum. Namun, kedua lembaga ini pada dasarnya memiliki fungsi yang mirip, yaitu memberikan pertimbangan kepada presiden.

Perbedaan utama terletak pada nomenklatur dan sejarah lembaga ini. Wantimpres dibentuk untuk menggantikan DPA yang dianggap tidak lagi relevan dan efisien. Dengan menghidupkan kembali DPA, muncul pertanyaan besar: apakah kita sedang bergerak mundur atau benar-benar menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman?

Kritik keras datang dari mereka yang menilai bahwa langkah ini adalah upaya untuk menghidupkan kembali praktik-praktik Orde Baru, di mana kekuasaan terpusat. Di sisi lain, pendukung pembentukan DPA berargumen bahwa setiap zaman memiliki kebutuhannya sendiri. Eks Wantimpres, Mardiono, menyebut bahwa DPA diharapkan bisa memberikan masukan yang lebih komprehensif dan strategis bagi presiden. Baleg DPR juga memastikan bahwa DPA tidak akan seperti di zaman Orde Baru, dan akan berfungsi sesuai dengan prinsip demokrasi dan transparansi.

Namun, kekhawatiran terhadap politisasi lembaga ini tetap ada. Tuduhan adanya politik balas budi mengemuka, dengan anggapan bahwa pembentukan DPA adalah bentuk kompensasi politik untuk tokoh-tokoh tertentu.

Menghidupkan kembali lembaga negara yang telah dihapus bukanlah hal yang biasa. Namun, dalam konteks politik Indonesia, hal ini bukan tanpa preseden. Sebagai contoh, MPR yang dulu sebagai lembaga tertinggi negara, pasca reformasi mengalami perubahan fungsi dan peran. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan struktur kelembagaan memang bisa terjadi, namun harus didasarkan pada kebutuhan nyata dan urgensi yang jelas.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat secara objektif apakah keberadaan DPA akan memberikan manfaat nyata bagi pemerintahan dan rakyat. Fungsi Wantimpres saat ini sudah mencakup banyak aspek yang dulunya menjadi tugas DPA. Jika memang ada kebutuhan untuk memperkuat peran nasihat kepada presiden, seharusnya yang dilakukan adalah memperkuat Wantimpres, bukan menghidupkan kembali lembaga yang sudah dihapus.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pembentukan DPA akan menambah beban anggaran negara tanpa memberikan manfaat yang signifikan. Dalam situasi ekonomi yang menantang, pembentukan lembaga baru harus benar-benar didasarkan pada urgensi dan kebutuhan yang jelas, bukan sekadar nostalgia politik atau upaya melestarikan kekuasaan.

Dalam konteks ini, kita wajib terus kritis dan mengawasi setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dan DPR. Demokrasi adalah milik kita semua, dan setiap keputusan yang diambil harus benar-benar demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik sesaat. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa Indonesia terus bergerak maju, bukan mundur.