Andaikata Bansos Presiden via Bantuan Non-Tunai Mungkin Negeri ini Tak Merugi Rp250 Miliar

JAKARTA - Komisi VIII DPR menyoroti laporan KPK mengenai kasus korupsi bantuan presiden (Banpres) saat pandemi Covid-19 yang mencapai Rp250 miliar. DPR bilang, korupsi bisa dicegah apabila disalurkan melalui metode bantuan non-tunai.

“Kejadian ini seharusnya tidak terjadi apabila Pemerintah mengambil langkah penyaluran bansos berupa bantuan non-tunai,” kata Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriany Gantina, Selasa 8 Juli.

Seperti diketahui, angka kerugian negara Rp250 miliar belumlah pasti karena KPK masih terus menghitung. Nilai proyek Banpres ini sendiri sebesar Rp900 miliar yang dibagi dalam 3 tahap.

Banpres masuk ke dalam program pembagian bantuan sosial untuk penanggulangan pandemi yang dibagikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banpres dikemas dalam goodie bag dengan tas berdesain khusus bertuliskan 'Istana Kepresidenan Republik Indonesia' dan 'Bantuan Presiden Republik Indonesia yang isinya antara lain paket pangan antara lain beras, biskuit, gula pasir, minyak goreng, sampai teh celup.

“Dari sini kita sepakat bahwa korupsi itu tindakan tidak manusiawi terlebih terjadi ketika pandemi Covid-19,” tukasnya.

“Namun, upaya-upaya Pemerintah juga seharusnya menimalisir celah-celah laku koruptif dalam kehadirannya. Dengan arti, pencegahan korupsi lebih baik dibanding menunggu aparat penegak hukum bergerak,” lanjut Selly.

Sebagai informasi, korupsi Banpres terungkap dalam dakwaan perkara distribusi bantuan sosial beras (BSB) di Kementerian Sosialyang menyeret Ivo Wongkaren. BSB ditujukan kepada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dalam Program Keluarga Harapan (PKH) pada 2020 untuk mengurangi dampak pandemi.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Kemensos juga melaksanakan program Banpres di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Ivo yang merupakan salah satu tersangka terlibat dalam proyek itu dan menjadi salah satu vendor Pelaksana menggunakan PT Anomali Lumbung Artha (ALA). 

Selly menilai, apabila Banpres disalurkan dengan metode non-tunai maka akan menambah besaran bantuan untuk masyarakat yang membutuhkan.

“Maka dari 10 juta penerima manfaat dari sektor PKH yang tiap pertiga bulan mendapatkan bantuan, maka bisa ditambah angka nominal bantuannya dalam rangka penanganan Covid-19,” ungkap mantan Wakil Bupati Cirebon tersebut.

Untuk diketahui, Pemerintah memiliki program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang merupakan bantuan uang sebesar Rp 200 ribu. Bantuan tersebut harus ditukarkan dengan bahan makanan sesuai mekanisme yang berlaku di e-warung terdekat.

Sementara bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program pemberian bantuan tunai bersyarat yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bansos PKH disalurkan dengan dua cara yakni melalui rekening penerima atau dilakukan melalui kantor pos.

Masing-masing penerima manfaat PKH akan memperoleh uang tunai sesuai dengan kategorinya mulai dari ibu hamil, balita, lansia, penyandang disabilitas, anak sekolah dari jenjang SD sampai SMA yang dibagikan secara bertahap dalam 4 tahap selama 1 tahun. Besarannya pun berbeda-beda tergantung kategori KPM.

Selly menyesalkan mengapa metode Banpres dilakukan dengan pemberian sembako. Padahal pada tahun 2018, Pemerintah sudah menginisiasi bantuan non tunai bersama bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) demi perputaran ekonomi daerah.

“Tapi kenapa saat Covid-19, Pemerintah justru menggantikannya dengan paket sembako. Bagi saya ini kemunduran luar biasa,” sesal Selly.

Tak hanya itu, Legislator dari Dapil Jawa Barat VIII ini menilai pembagian Banpres dengan beras kurang tepat karena Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman pangan. Selly memberi contoh misalnya di Papua yang makanan sehari-harinya berupa sagu, bukan beras.

“Menjadi ironis apabila bantuan sosial kita masih bersandar pada Jawa-sentris mengingat kebutuhan pangan masyarakat kita bukan melulu beras. Lalu pertimbangan jarak yang luas dengan lautan sebagai penghubungnya menjadi upaya yang sulit ketika bansos berupa komoditas ini diproduksi hanya di satu titik yakni Jakarta,” paparnya.

“Negara membutuhkan mobilisasi besar-besaran untuk mengirimkan barang dari satu titik ke titik lainnya. Sedangkan masyarakat membutuhkan kepastian waktu agar bansos segera tereliasisasikan. Terlebih pada saat Covid yang lalu,” imbuh Selly.

Selly pun menyebut, persoalan bansos yang koruptif bukanlah satu-satunya persoalan kronis yang merugikan masyarakat.

“Penyeragaman bansos berupa beras menjadikan masyarakat ketergantungan pangan pada beras belaka yang mana hal itu mengakibatkan pada buruknya kedaulatan pangan kita hari ini,” ujarnya.