Periksa Edhy Prabowo, KPK Dalami Bank Garansi Eksportir Benur

JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami Bank Garansi yang diserahkan para eksportir benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Pendalaman dilakukan dengan memeriksa Edhy Prabowo merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang jadi tersangka penerima suap.

Mantan politikus Partai Gerindra tersebut diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Amiril Mukminin yang merupakan mantan staf khususnya, dan tersangka lainnya.

“Tim penyidik masih terus menggali terkait uang senilai Rp52,3 miliar sebagai Bank Garansi yang diserahkam para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih bening lobster di KKP tahun 2020,” kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 18 Maret.

Sebelumnya, pada Senin, 15 Maret, penyidik KPK melakukan penyitaan uang senilai Rp52,3 miliar yang diduga sebagai Bank Garansi.

Terkait Bank Garansi ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi termasuk Irjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf pada Rabu, 17 Maret kemarin.

Usai diperiksa, dia mengatakan uang senilai Rp53,2 miliar yang disita dari Bank Garansi tak terkait dugaan suap ekspor benur atau benih lobster.

Selain itu, dia juga menyebut uang yang diduga KPK terkait suap benur tak melanggar hukum. "Tidak ada yang dilanggar," kata Yusuf kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan

Dia memaparkan asal uang yang disita KPK. Uang tersebut ada karea awalnya ada larangan penangkapan benih lobster sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster.

Menurutnya, aturan larangan penangkapan benih lobster yang diterbitkan oleh mantan Menteri Kelautan dan Kelautan Susi Pudjiastuti mencekik para nelayan lobster. Tak hanya itu, Yusuf juga menyebut, persediaan lobster juga melimpah di lautan.

"Di laut itu melimpah, kemudian survei rate-nya cuma 0,01 persen. Kalau enggak ditangkap, enggak diambil akan mubazir. Mati dia," ungkapnya.

Melihat kondisi ini, KKP tidak bisa membiarkan benih lobster yang melimpah tak dimanfaatkan. Selain itu, akibat pandemi COVID-19 nelayan juga perlu mencari nafkah sehingga kementerian ini membuat aturan tentang ekspor benih lobster.

"Asumsi kemudian, kita juga memberikan harga minimum, minimal kepada eksportir membeli daripada nelayan itu," ujarnya.

Hal ini yang melandasi KKP memberikan harga Rp5 ribu untuk satu benih lobster jenis pasir. Lalu, Rp10 ribu untuk jenis benih lobster jenis nikel.

Dengan aturan ini juga, eksportir benur akhirnya bisa melakukan penjualan ke Vietnam. Tapi, ketika hal ini dilakukan, negara justru tidak mendapatkan keuntungan apapun.

Karena itu, KKP meminta Kementerian Keuangan untuk membuat regulasi yang membantu Permen Nomor 12 Tahun 2020. Aturan yang dikeluarkan terkait dengan adanya biaya khusus untuk mengeskpor benih lobster.

"Oleh Kementerian (Keuangan, red) digabung menjadi PNBP (penerimaan negara bukan pajak)," jelas Yusuf.

Hanya saja, aturan tentang PNPB ekspor benih lobster belum keluar. Karena, pemerintah mengutamakan aturan soal UU Cipta Kerja.

KKP, sambung Yusuf, juga belum menerima keuntungan apapun. Hanya saja, para eksportir membuat janji untuk memberikan jaminan dan hal inilah yang menjadikan Bank Garansi sebagai jaminan.

Yusuf mengklaim KKP belum memanfaatkan uang di Bank Garansi. Alasannya, saat itu, KPK keburu menangkap Edhy Prabowo dan anak buahnya sepulang lawatan dari Hawaii, Amerika Serika.

"Tolong dipahami bahwa Bank Garansi itu belum menjadi haknya KKP. Belum menjadi hak siapappun juga. Masih hak terbuka Bank Garansinya. Itu ceritanya," kata dia.