Gelombang Panas Ikut Perparah Kemiskinan di Dunia, Masyarakat Harus Lebih Peduli pada Perubahan Iklim
JAKARTA – Panas ekstrem yang melanda bumi semakin parah. Di India dan Thailand puluhan orang meninggal dunia diakibatkan cuaca panas, sedangkan kalangan menengah ke bawah disebut menjadi kelompok yang paling terdampak perubahan iklim.
Times of India pada Kamis (20/6/2024) melaporkan, suhu panas di ibu kota New Delhi membuat 52 orang meninggal dunia dalam dua hari terakhir.
Sebagian besar korban adalah warga miskin yang tinggal dan bekerja di tempat terbuka.
Gelombang panas juga menewaskan 61 orang di Thailand sepanjang 2024, sampai pada Mei lalu. Kementerian Kesehatan Thailand menyatakan korban meninggal akibat heatstroke selama 2024 melampaui jumlah orang yang meninggal dengan penyebab yang sama sepanjang 2023.
“Data Kementerian mengungkap, sepanjang 2023 sebanyak 37 orang meninggal akibat heatstroke. Gelombang panas melanda Thailand sejak beberapa pekan terakhir, pihak berwenang mengeluarkan peringatan suhu sangat panas hampir setiap hari,” demikian keteragan Kementerian Kesehatan Thailand, seperti dilansir Reuters.
Produktivitas Menurun
Miliaran orang di Asia tengah bergulat dengan cuaca panas ekstrem. Dalam puluhan tahun terakhir, suhu bumi rata-rata lebih hangat 1,2 derajat celcius dibandingkan akhir abad ke-19.
Tahun 2023 dinyatakan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, setelah dikonfirmasi bahwa pemanasan global melebihi 1,5 derajat celcius selama periode 12 bulan antara Februari sampai Januari 2024.
Cuaca ekstrem juga terjadi di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi suhu udara di beberapa wilayah Indonesia berkisar antara 32 dan 37 derajat celcius. Inilah yang menyebabkan cuaca belakangan ini sangat panas.
Meningkatnya suhu bumi ternyata memberikan dampak lebih bagi keluarga miskin. Mereka berusaha keras menjaga agar tagihan listrik tidak melonjak tinggi padahal kebutuhan penyejuk ruangan meningkat di tengah panasnya cuaca.
Warga yang menempati kawasan padat penduduk di Jakarta mengaku harus terus menyalakan kipas angin untuk mengurangi dampak cuaca panas. Bahkan tak sedikit yang harus menyalakannya selama hampir 24 jam. Akibatnya, tagihan listrik membengkak dari biasanya. Pengeluaran lainnya adalah pemenuhan air bersih, karena air tanah yang tidak layak untuk dikonsumsi.
Dadan, seoran tukang becak di kawasan Tambora memiliki cerita lain. Meski berhasil menekan pengeluaran listrik di rumah, ia harus merogoh uang lebih untuk membeli air minum.
Jika biasanya hanya butuh empat botol per hari, sekarang menjadi lebih dari enam botol supaya tubuhnya tetap terhidrasi selama narik becak, padahal penghasilan Dadan setiap harinya tak menentu.
Cuaca panas juga berpengaruh terhadap produksi hasil pertanian, jam kerja, serta kesehatan masyarakat. Hasil pertanian menurun, sawah pun tidak bisa dimaksimalkan karena curah hujan yang minim.
Akibatnya, mereka harus membeli kebutuhan pangan, setelah sebelumnya dapat terpenuhi dari lahan sendiri.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut fenomena cuaca panas dapat mengakibatkan gagal panen. Ia juga mengkhawatirkan polusi udara yang makin meningkat.
Selain itu, penduduk di pemukiman kumuh juga menurut Bhima menjadi lebih rentan terkena penyakit sehingga meningkatkan biaya kesehatan.
Muhammad Rifqi Damm, research fellow di Asia Research Center Universitas Indonesia (ARC UI) secara spesifik mengomentari pengaruh iklim, terutama meningkatnya suhu panas, terhadap ekonomi masyarakat bawah.
“Cuaca panas biasanya berpengaruh pada perekonomian di berbagai sektor, misalnya pertanian, konstruksi, dan industri padat karya. Sektor pertanian tentu paling mudah terdampak oleh kondisi cuaca. Produktivitas pekerja di sektor konstruksi dan industri juga cenderung menurun jika terjadi cuaca panas,” ujar Damm.
“Cuaca panas cenderung membuat produktivitas menurun, karena tubuh akan lebih mudah kelelahan. Akibatnya, pendapatan pun menurun. Khususnya bagi orang-orang yang mengandalkan tenaga fisik mereka untuk berbagai pekerjaan,” imbuhnya.
Krisis Biaya Hidup
Dampak cuaca panas terhadap masyarakat miskin tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di negara maju sekali pun, seperti Australia.
Warga Australia mengaku mengalami heatstroke saat berupaya menekan tagihan listrik di tengah gelombang panas yang mencapai rekor, demikian temuan laporan baru dari Dewan Layanan Sosial Australia.
Australian Council of Social Service (ACOSS) Australia merilis sebuah laporan mengenai bagaimana biaya hidup berdampak pada kemampuan masyarakat untuk mendinginkan rumah mereka.
Survei terhadap 1.007 orang menemukan bahwa 60 persen mengalami kesulitan membayar tagihan listrik, dan 80 persen mengatakan suhu tinggi di rumah membuat mereka tidak sehat.
Kepala ACOSS Dr. Cassandra Goldie mengatakan 14 persen di antaranya pergi ke dokter karena kesehatan terganggu akibat cuaca panas.
“Gelombang panas sejauh ini menjadi penyebab terbesar rawat inap ketika cuaca ekstrem terjadi dan kita harus berbuat lebih banyak untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Dr. Goldie, dikutip abc.net.au
“Ini bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis biaya hidup di mana 60 persen masyarakat yang disurvei merasa semakin sulit membayar tagihan listrik,” ia menambahkan.
Donna, 64, adalah seorang pensiunan disabilitas di Queensland. Donna mengaku hanya tinggal “sesen lagi menuju tunawisma” lantaran 65 persen pemasukannya habis untuk biaya sewa.
Baca juga:
- Pelayanan Publik Kacau, Bukti Pusat Data Nasional Tidak Dikelola Secara Benar dan Profesional
- Memahami Kebutuhan Penyandang Disabilitas Memang Tidak Mudah
- Problem Pengangguran Disabilitas: Karena Pemerintah Abaikan Pendekatan Pemberdayaan, Lebih Pilih Bansos dengan Anggaran Besar
- Setelah Tak Berstatus Ibu Kota, Jakarta Bakal Seperti Apa?
Di rumah sewaannya, ia tak bisa menggunakan penyejuk ruangan karena hanya akan menimbulkan biaya listrik yang mahal.
“Saya akan menghabiskan hari di tempat tidur dengan botol semprot berisi air dan hanya akan menyemprotkannya ke tubuh saya serta menyalakan kipas angin di langit-langit,” aku Donna.
Ia merasa sangat menderita dan frustrasi karena tidak memiliki kualitas hidup yang baik di masa tuanya.
Ketua Eksekutif Aliansi Kesehatan Pedesaan Nasional Susi Tegan mengatakan penderitaan yang dialami Donna adalah hal biasa di seluruh negeri.
Menurut Tegan, pemerintah perlu mempertimbangkan betapa buruknya pembangunan perumahan sosial ketika suhu mulai meningkat karena ini menjadi masalah kesehatan masyarakat.
“Ketika Anda hanya menghasilkan 100 dolar Australia per pekan atau golongan pemasukan sangat kecil, tambahan biaya listrik memiliki impak besar,” katanya.
“Saya pikir kita harus memiliki standar dasar yang dapat diandalkan semua warga Australia, entah itu rumah pribadi atau sosial,” ujar Tegan lagi.
Perubahan iklim dan gelombang panas yang dihasilkan jelas berpengaruh terhadap segala sendi kehidupan, tapi banyak warga dunia tak peduli.