AS-Rusia Saling Tuding Disinformasi Berita Vaksin COVID-19

JAKARTA - Rusia dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan persaingan tidak sehat dalam pendistribusian vaksin COVID-19. Kedua negara itu sampai melakukan kampanye disinformasi maupun sensor konten di media sosial dari vaksin yang dikembangkan.

Melansir Reuters, baru-baru ini Rusia sengaja memperlambat akses internet Twitter di negaranya. Lantaran platform mikroblog itu tidak menghapus konten-konten yang disinformasi di lini massa Rusia.

Apalagi Twitter juga menerapkan sistem label pada akun-akun yang berhubungan dengan negara, seperti kantor pemberitaan. Beberapa media di Rusia kini berlabel "media berafiliasi dengan negara".

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Desember lalu menandatangani undang-undang untuk membatasi kekuasaan media sosial asal AS.

"(Platform media sosial) pada prinsipnya tidak memiliki standar terpadu untuk mengelola diri mereka sendiri. Ini adalah kebuntuan secara semantik dan teknologi," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, di akun Facebook-nya.

"Konten digital secara sewenang-wenang disensor oleh moderator tertentu, tanpa keputusan pengadilan atau otoritas yang relevan dan kompeten," kata Zakharova.

Zakharova menuduh Washington menggunakan teknologi untuk berkompetisi secara tidak adil. Tujuannya untuk menciptakan bias terhadap perkembangan ilmiah dari vaksin COVID-19 Sputnik V buatan Rusia, ke negara-negara yang sudah mendaftar untuk menerimanya.

Klaim Rusia keluar setelah pernyataan serupa dibuat oleh pejabat AS dan dikonfirmasi oleh juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price awal pekan ini. Menurut AS, Moskow berada di balik kampanye serupa yang menargetkan vaksin buatan AS.

"Sangat jelas Rusia menggunakan tipuan lamanya. Hal itu (disinformasi vaksin) jelas berpotensi menempatkan orang pada risiko. Padahal kita tahu itu (vaksin) dapat menyelamatkan nyawa setiap hari," kata Price,

Tuduhan yang saling dilemparkan oleh dua kekuatan dunia ini terjadi saat isu "diplomasi vaksin" ramai diperbincangkan. Yaitu upaya untuk mengkapitalisasi kebutuhan inokulasi yang besar, demi melindungi manusia dari pandemi global selama satu tahun ini.

Rusia mengklaim menjadi negara pertama yang memenangkan pandemi setelah meluncurkan vaksin produksinya pada Agustus tahun lalu. Langkah itu lalu diikuti China yang juga mengumumkan vaksinnya sendiri, secara luas dan didistribusikan ke sebagian besar Asia.

Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden menghadapi tekanan baru untuk mendistribusikan lebih banyak vaksin buatan AS secara global. Di tengah kompetisi Rusia dan China yang telah lebih dulu mendistribusikan vaksin secara global.

"China dan Rusia sedang melancarkan diplomasi vaksin mereka dan memenangkan koalisi untuk memperluas lingkup pengaruh mereka," kata J Stephen Morrison, direktur Pusat Kebijakan Kesehatan Global di Pusat Kajian Strategis dan Internasional kepada The Washington Post.