Ketika Wuhan Memberlakukan Lockdown
JAKARTA - Indonesia catatkan angka kematian tertinggi akibat COVID-19 se-Asia Tenggara. Sore hari kemarin, Kamis, 19 Maret, otoritas mengumumkan 19 orang meninggal, 11 berhasil sembuh, dan 227 lainnya terpapar. Hingga hari ini, desakan lockdown masih ditolak pemerintah. Barangkali kita sudah memahami konsep lockdown. Tapi, sudah kah kita melihat yang terjadi di China ketika lockdown?
Sejak 23 Januari, Wuhan, kota yang mencatatkan kasus penularan pertama di dunia memberlakukan lockdown. Otomatis, Wuhan juga jadi kota pertama yang mempraktikkan metode lockdown terkait COVID-19. Setelah Wuhan, 12 kawasan yang terhubung langsung dengan juga di-lockdown. Langkah itu membuahkan hasil. Pasca-lockdown, angka kasus COVID-19 di China menurun drastis.
“Pemerintah China akan diberikan ucapan selamat atas tindakan luar biasa yang diambil untuk mengatasi wabah ini meskipun dampak sosial dan ekonomi yang parah dari tindakan itu terhadap rakyat di negara itu,” tutur Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis, 12 Maret lalu.
Di hari itu, pejabat kesehatan China mengumumkan, mereka telah melewati puncak epidemo COVID-19. Hari itu juga, mereka mengumumkan delapan kasus baru, jumlah paling rendah sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan.
Sebuah dokumenter pendek, The Lockdown: One Month In Wuhan menangkap berbagai momen yang terjadi dalam satu bulan --Wuhan di-lockdown selama dua bulan-- lockdown di Wuhan. Gen Yunfei, sutradara, tak cuma mengangkat perihal menyedihkan di sepanjang lockdown. Ia juga memunculkan harapan. Dengan semangat, kerja keras, dan optimisme, mereka berhasil melawan virus.
Awal mula
Film ini dibuka oleh sebuah narasi yang sedikit menggambarkan kepanikan warga Wuhan. Kala itu, semua orang tampak ketakutan. Hari itu adalah hari pertama Wuhan di-lockdown. Akibatnya, semua penjualan tiket perjalanan ditutup, menyusul penghentian seluruh operasi transportasi massal.
Saat itu, semangat hidup warga Wuhan mencapai titik terendah. COVID-19 menyerang Wuhan nyaris tanpa henti tanpa menunjukkan sedikit pun tanda perlambatan penularan. Satu demi satu warga terjangkit virus. Namun, dari situ lah muncul semangat perlawanan. Ada pesan yang dirangkai setiap orang di Wuhan: Jika COVID-19 tak dilawan oleh segenap masyarakat, lalu siapa lagi?
Tanggal 13 Februari, bantuan mulai berdatangan dari luar Wuhan. Antara lain, 1.400 tenaga medis dari militer dikirim ke wuhan dengan sebelas pesawat militer yang juga membawa peralatan dan perlengkapan medis. Salah satu tenaga medis dari militer, Zhu Hairong mengatakan, "Seluruh tenaga medis yaang diberangkatkan ialah yang terbaik. Mereka telah berpengalaman menghadapi keadaan kritis, penyakit pernapasan, infeksi, dan epidemik.”
Setali dengan itu, lebih dari 30.000 tenaga medis dari 29 provinsi dan daerah juga diturunkan. Saat itu juga pemerintah China mulai memproduksi alat perlindungan seperti masker dan lainnya dalam jumlah besar. Terhitung, di Huabei saja, lebih dari 300 ribu masker N95 diproduksi per hari.
Padahal, pada januari lalu, China hanya memproduksi 35 ribu masker per hari. Saat memasuki 17 Februari, Wuhan akhirnya menjadi kota yang dapat mengarantina seluruh orang yang memiliki kemungkinan tersebar COVID-19.
Baca juga:
Yang Wuhan lakukan
Pelajaran penting pertama yang wajib ditiru dari Wuhan adalah bagaimana para tenaga medis dipencar untuk blusukan ke kediaman warga Wuhan. Tes diberlakukan pada orang per orang, tanpa kecuali. Wuhan tahu pasti berapa besar paparan virus. Dengan begitu, Wuhan dapat menentukan langkah terukur untuk memerangi virus.
Bagi warga, tak ada alasan apa pun, mereka harus tetap di rumah. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, warga Wuhan harus memesan segalanya secara daring. Saat pengantaran, paket makanan dan kebutuhan pokok lainnya dibungkus sedemikian rupa. Paket juga diletakkan di depan rumah, sehingga tak terjadi kontak fisik antara kurir dan pembeli.
Asisten Direktur Jenderal WHO Bruce Alward memberi gambaran terkait kondisi itu. Pernyataannya dikutip dalam film: Tapi, saya pikir penting untuk menyadari bahwa dunia telah berutang pada Wuhan. Kala epidemik ini berakhir, besar harapan, kita akan tetap memiliki kesempatan untuk berterima kasih kepada warga Wuhan.
Lockdown Wuhan memang berbuah baik. Satu bulan pasca Wuhan lockdown, angka paparan COVID-19 menurun drastis. Kenaikan kasus pun sudah tak terlihat, di Wuhan atau pun di provinsi-provinsi lainnya. Kalau pun ada pasien dengan gejala COVID-19, maka akan dengan segera dilakukan tindakan, sehingga tak butuh waktu lama untuk menanganinya.
Sayang, keberhasilan Wuhan menangani COVID-19 dibarengi dengan peningkatan kasus di sejumlah negara lain. Italia, misalnya, yang mencatatkan kasus kematian tertinggi di Eropa. Atau sebagaimana telah disinggung di awal. Indonesia, yang kini jadi negara dengan angka kematian tertinggi akibat COVID-19 di Asia Tenggara. Film ini barangkali hanya seruas jari realita yang terjadi di Wuhan. Namun, dalam kondisi ini, pelajaran sekotoran kuku pun amat berharga, bukan?