Mengenal Ki Hajar Dewantara, Pejuang Kemerdekaan Sekaligus Bapak Pendidikan Nasional
YOGYAKARTA – Masih adakah di antara kita yang belum mengenal Ki Hajar Dewantara? Ia adalah sosok yang sangat berjasa bagi dunia pendidikan Indonesia.
Salah satu jejak Ki Hajar Dewantara dalam memajukan pendidikan Indonesia adalah mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang menawarkan kesempatan kepada para pribumi kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan para priyayi dan orang Belanda.
Artikel berikut ini akan mengulas Biografi Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dirangkum VOI dari berbagai sumber, Kamis, 2 Meri 2024.
Mengenal Ki Hajar Dewantara
Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ayahnya bernama Gusti Pangeran Haryo Soejaningrat, atau cucu dari Sri paku Alam III.
Berdasarkan garis keturunan, Sowardi Soerjaningrat berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualama, Yogyakarta.
Meski Begitu, ia merupakan sosok yang sangat sederhana dan sangat dekat dengan rakyat. Ia bahkan tak segan melepas gelar bangsawan dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara supaya bisa mendekatkan diri dengan masyarakat.
Berdasarkan catatan sejarah, Soewardi Soerjaningrat bersekolah di Europeesche Lager School (ELS) atau Sekolah Rendah untuk anak-anak Eropa.
Berikutnya, ia mendapat kesempatan untuk belajar di School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang sering disebut Sekolah Dokter Jawa. Akan tetapi, karena masalah kesehatannya, Soewardi tidak sempat menamatkan pendidikannya.
Setelah meninggalkan STOVIA, Soewardi Soerjaningrat bekerja sebagai analis di laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Akan tetapi, setelah setahun, dia meninggalkan pekerjaannya lantaran kesempatan belajar secara cuma-cuma dicabut.
Karier Soewardi Soerjaningrat yang selanjutnya adalah menjadi pembantu apoteker di Apotek Rathkamp, Malioboro Yogyakarta pada tahun 1911. Pada saat yang sama, ia juga menjalani profesi sebagai wartawan untuk surat kabar “Sedyotomo” Idalam Bahasa Jawa), “Midden Java” (dalam Bahasa Belanda) di Yogyakarta, dan “De Express” di Bandung.
Tulisan-tulisannya yang kritis dan tajam membuat Soewardi Soerjaningrat dan kedua rekannya Dr. Cipto Mangungkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwess Dekker, ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada 18 Agustus 1913, Pemerintah Hindia Belanda berencana mengasingkan Soewardi Soerjaningrat ke Bangka, Dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan DR. E.F.E Douwes Dekker ke Timor Kupang. Akan tetapi, mereka meminta agar diasingkan ke Belanda. Permintaan tersebut dikabulkan.
Baca juga:
- 4 Alasan Wajib Nonton Film The Idea of You: Kisah Cinta Anne Hathaway dan Nicholas Galitzine
- Bawa Tema Kesetaraan Gender, Film Possession: Kerasukan Membawa Teror dan Misteri
- Ketika Orang Berkomentar Tentang Penampilan Anak Anda, Begini 5 Cara Bijak Merespons
- Trigliserida dan Kolesterol Tinggi, Mana yang Lebih Berbahaya? Cek Penjelasannya
Dalam masa pengasingannya, Soewardi Soerjaningrat banyak mengikuti kursus-kursus untuk memperdalam ilmunya di bidang pendidikan dan pengajaran hingga meraih Akte Guru Eropa dalam pendidikan Paedagogie pada Juni 1915.
Setelah melewati masa pengasingannya, Soewardi Soerjaningrat mengeluarkan gagasan baru tentang bagaimana cara dan jalannya untuk menuju Kemerdekaan Indonesia.
Soewardi percaya bahwa kemerdekaan dapat diraih bila masyarakat Indonesia memiliki jiwa merdeka dan jiwa nasional. Untuk itu, perlu penanaman jiwa merdeka sejak masa anak-anak.
Pada 3 Juli 1922, Soewardi Soerjaningrat dan rekan-rekannya mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa dan membuka Taman Anak atau Taman Lare, yakni pendidikan setingkat Taman Anak-Anak.Kemudian pada 7 Juli 1924 mendirikan pendidikan tingkat SMP, yakni Mulo Kweekschool.
Pada tahun 1928, siswa Muloo Kweekschool yang sudah tamat dapat melanjutkan pendidikan ke Algemee Middelbare School (AMS) atau pendidikan tingkat SMA. Di tahun ini pula, tepatnya pada tanggal 3 Februari, Soewardi Soerjaningrat melepas gelar bangsawan dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Langkah ini diambil agar ia bisa lebih dekat dengan rakyat yang ia perjuangkan lewat jalur jurnalistik, politik, dan pendidikan.
Adapun Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara sukses mengajarkan dasar-dasar pendidikan yang memerdekakan dan meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan di Indonesia.
Kelak jelang Kemerdekaan Republik Indonesia pada 29 April 2945, Ki Hajar Dewantara memimpin bagian pendidikan pada anggota Abdan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara bekerja hingga rampung jelang revolusi.
Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara diperintah Soekarno untuk merebut kekuasaan Departemen Pendidikan Pemerintah Militer Jepang di RI pada hari kemerdekaan. Dengan bantuan pemuda, ia menjalankan tugas tanpa perlawanan keras Jepang.
Pada 19 Agustus 1945, atau dua hari setelah Kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Setelah perubahan di kabinet presiden pertama, Ki Hajar Dewantara kembali ke Yogyakarta. Ia meninggal pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, makam keluarga Taman Siswa.
Sebagai informasi tambahan, saat mendirikan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara mengeluarkann semboyan pendidikan yang berbunyi “Ing ngarsa sang tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Semboyan tersebut bermakna “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Sampai saat ini, semboyan tersebut masih dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia.
Atas jasa-jasanya di dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara diberikan gelar Bapak Pendidikan Nasional. Hari kelahirannya (tanggal 2 Mei) juga ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Demikian informasi tentang Ki Hajar Dewantara. Semoga artikel ini bisa membuat pembaca VOI.ID mengenal Ki Hajar Dewantara lebih dalam.