Tan Malaka Jadi Guru Bahasa Inggris di Singapura
JAKARTA - Perjuangan membawa Indonesia merdeka tak mudah. Barang siapa yang berani menentang terang-terangan penjajah Belanda niscaya akan diburu. Tan Malaka pernah merasakannya. Nestapa hidup bak orang buangan di negeri orang jadi bagian kisah hidupnya.
Musuhnya tak melulu intelejen Belanda, tapi intelejen Inggris. Namun, pelariannya ke Singapura mengubah segalanya. Tan Malaka menyamar jadi orang China dan berhasil. Ia turut aktif jadi guru bahasa Inggris di Singapura.
Semesta tak selamanya berpihak kepada perjuangan Tan Malaka. Pria kelahiran Pria Pandam Gadang, 2 Juni 1897 terpaksa meninggalkan Hindia Belanda (kini: Indonesia) karena aktivitas politiknya yang dianggap bahaya.
Tan Malaka berkelana ke berbagai negara, dari China hingga Filipina. Pengelanaan itu membuatnya dikejar-kejar intelejen setempat. Ia sering dicurigai sebagai pembuat onar. Kondisi itu membuatnya sempat merasakan dinginnya dinding penjara di berbagai negara.
Pengalaman itu membuat Tan Malaka mulai hati-hati dalam berkelana. Ia mulai mengubah tampilan, bahasa, hingga namanya. Perlahan-lahan keterampilannya dalam menyamar bertumbuh. Sekalipun urusan pengelanaan yang dilakukan tak selalu mulus.
Ambil contoh kala Tan Malaka mencoba peruntungan ke Yangoon, Burma (kini: Myanmar). Namun, Dewi Fortuna tak berada dipihaknya. Kehidupan di Rangoon keras. Tan Malaka kesulitan mencari kerja. Banyak di antara pekerjaan yang ada mengharuskan seseorang harus dapat berbahasa Burma.
Tan Malaka merasa tak kerasan. Opsi untuk mencari peruntungan baru ke Singapura pun dicoba pada 1937. Masalah muncul. Upaya mendapat visa dari pemerintah Burma tak mudah. Kondisi itu membuatnya kesulitan naik kapal.
Siasat kuno pun dilakukan. Tan Malaka terpaksa memberi uang suap (ciak-teh). Urusan ciak-teh tak lantas berhenti. Tan Malaka juga memberikan ciak-teh kala berada di Pelabuhan Penang maupun Singapura.
Penyamaran Tan Malaka pun sempat hampir terungkap. Beruntung Tan Malaka dengan cepat mengubah perannya jadi orang China. Ia mengubah nama jadi Tan Ming Siong. Ciak-teh pun lagi-lagi diberikan kepada petugas sebagai pelicin dan berhasil.
“Tetapi saya mendapatlkan kesan, bahwa ada kecurigaan terhadap saya. Si penyelidik mengakui dirinya China. Mungkin sekali ada darah China dalam tubuhnya, tetapi bentuk badan dan mukanya serta warna kulitnya lebih banyak mirip Keling daripada China. Bagaimanapun juga bahasa Chinanya tiada lebih baik daripada bahasa China saja.”
“Oleh karena dia belum pernah pergi ke negara leluhurnya, maka dalam hal ke-Chinaan saya tak perlu mengangkat bendera putih di depannya. Sekali dia mengakui dirinya Tionghoa dan memakai bahasa Tiongjoa, cepat saya ikuti gerak geriknya dalam ke-Chinaan,” terang Tan Malaka dalam buku Dari Penjara Ke Penjara (2017).
Jadi Guru Bahasa Inggris
Identitas barunya sebagai orang China membawa kemujuran. Impian Tan Malaka memperoleh hidup lebih baik dan memanaskan pergerakan kemerdekaan Indonesia di Singapura jadi terbuka lebar. Tan Malaka mulai mendapatkan teman di Singapura.
Ia juga mulai berjumpa dengan kawan lamanya, Buna. Tan Malaka kemudian banyak dikenalkan kepada rekan-rekan orang China lainnya di Singapura. Perkenalan itu membawanya memperoleh pekerjaan baru.
Ia mampu mendapatkan pekerjaan sebagai Guru Bahasa Inggris di Nanyang Chinese Normal School. Ia mengajar anak-anak China totok. Tan Malaka pun ikut mengubah kembali namanya. Kala itu ia dikenal dengan nama Tan Ho Seng.
Tiada kesulitan bagi Tan Malaka menekuni perannya sebagai guru. Pekerjaan sebagai guru sebenarnya sudah dilakukan dari jauh hari. Tan Malaka telah aktif mengajar di Hindia Belanda. Bekal itu membuat urusan mengajar di sekolah khusus anak China tak jadi masalah.
Baca juga:
Profesi sekaligus penyamarannya jadi guru memang bergaji kecil, 8 dolar per bulan. Namun, keuntungan lainnya bejibun. Pergerakan Tan Malaka tak tercium intelejen Belanda dan Inggris. Ia bertahan di Singapura hingga 1942. Atau tepat setelah Jepang mengambil alih Singapura dari tangan penjajah Inggris.
“Di Singapura, dalam masyarakat China dengan nama dan paspor China (sudah tentu di luar sepengetahuan Inggris yang asyik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepala sekolah menengah atas yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (N.C.N.S).”
“Di sini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi guru bahasa Inggris, sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi, kalau perkara ongkos saja, saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru bahasa Inggris, siang dan malam, lebih dari cukup buat diri sendiri,” terang Tan Malaka dalam buku Madilog (2014).