Airlangga Ungkap Amerika Serikat Ikut Suarakan Penundaan Kebijakan EUDR

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) dinilai menjadi salah satu tantangan yang dapat merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan di Indonesia, salah satunya kelapa sawit.

Menurut Airlangga hal tersebut juga berpotensi mengecilkan berbagai upaya dan komitmen Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.

Merespons kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang terdepan dalam menyerukan concern yang serius dan ketidaksetujuan kepada UE atas tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit dengan adanya EUDR tersebut.

Selain itu, Airlangga menyampaikan Indonesia bersama dengan Malaysia, dan Uni Eropa juga telah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) on EUDR guna mengatasi berbagai hal terkait dengan pelaksanaan EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia.

Airlangga menyampaikan gugus tugas tersebut juga dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik terkait implementasi EUDR.

“Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit,” tegas Airlangga dalam keterangannya, dikutip Kamis, 25 April.

Sejalan dengan upaya penolakan yang dilakukan Indonesia dan Malaysia, dilansir melalui mypalmoilpolicy.com, kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat juga telah menyoroti kebijakan EUDR yang dianggap tidak adil bagi para petani yang akan memasuki pasar Eropa.

“Amerika bipartisan menentang EUDR, jadi EUDR yang diinisiasi oleh Indonesia di kunjungan bersama antara Menko Perekonomian dan PM Malaysia, itu terus mendapatkan dukungan dari like-minded countries, beberapa waktu lalu baik Republikan maupun Demokrat juga mempertanyakan EUDR. Jadi like-minded countries terinspirasi apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia,” ungkap Airlangga.

Airlangga menyampaikan, penundaan implementasi atau perubahan regulasi EUDR juga dinilai menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk saat ini.

Lebih lanjut, pernyataan keberatan terhadap kebijakan EUDR juga sejalan dengan pandangan Menteri Pertanian UE. Selain itu, sebanyak 20 dari 27 Menteri juga menyerukan untuk dilakukan penundaan EUDR, pada Pertemuan Dewan Agriculture Fisheries Council Configuration (AGRIFISH) yang telah diselenggarakan dalam waktu dekat lalu.

Selain itu, kebijakan EUDR yang juga telah mendapat sorotan dari New York Times dan Financial Times tersebut juga dinilai akan memberikan dampak berupa potensi masalah pada rantai pasokan yang berkelanjutan, harga, dan pilihan konsumen, hingga dampak bagi petani dan negara pengekspor.

Dengan adanya potensi dampak tersebut, sejumlah produsen pangan dan komoditas mengharapkan adanya pendekatan yang lebih terukur.

Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan asosiasi pertanian yang terkemuka di Uni Eropa, Copa Cogeca, juga telah menyampaikan saran penundaan implementasi kebijakan EUDR karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena waktu penyiapan kerangka kerja yang lebih memadai tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu implementasi kebijakan EUDR tersebut.

Selain sorotan dan kritik yang disampaikan Amerika Serikat dan Asosiasi Pertanian Eropa terhadap kebijakan EUDR tersebut, gelombang kekhawatiran juga diutarakan oleh berbagai negara-negara seperti India dan Brazil serta sejumlah negara lainnya yang menyampaikan perhatian yang sangat serius mengenai tuntutan dari implementasi kebijakan EUDR tersebut.