Pemilu India 1991: Kontestasi Politik Berdarah dalam Sejarah Negeri Hindustan
JAKARTA - Citra pemilu sebagai pesta poranya demokrasi tak berlaku di India. Pemilu India 1991, misalnya. Kontestasi politik itu jadi salah satu yang terburuk di dunia sepanjang massa. Alih-alih dapat menghadirkan pemilu bak suasana pesta, urusan kasta dan agama justru dibawa-bawa.
Segala cara digunakan untuk menang, utamanya kekerasan. Mereka yang jadi korban tak sedikit. Ratusan orang meninggal dunia, termasuk Mantan Perdana Menteri (PM) India, Rajiv Gandhi. Suatu kejadian yang mencoreng wajah demokrasi India.
Pemilu India 1991pernah menarik perhatian dunia. Mulanya kontestasi politik itu digadang-gadang akan memunculkan harapan baru bagi Negeri Hindustan. Semuanya karena setengah miliar orang (514 ribu) yang terdaftar akan milih partai yang mewakili kepentingannya.
Rakyat India pun akan melakukan pemungutan suara di 600 ribu TPS yang tersebar di seantero India. Pemilu direncanakan berjalan tiga tahap: 20 Mei 1991, 23 Mei 1991, dan 26 Mei 1991. Partai-partai yang akan bersaing pun mulai tegang.
Mereka mencoba menghadirkan gagasan dan wajah baru di parlemen. Tujuannya untuk berebut ke Lhok Saba (Majelis Rendah) yang hanya menyediakan 511 kursi. Banyak yang meramalkan pemenangnya tak jauh berbeda dengan Pemilu terdahulu—Pemilu 1989.
Tiga besarnya dihuni oleh Partai Kongres yang berada di puncak dengan 197 kursi. Janata Dal dengan 143 suara, dan Partai Bharatiya Janata 85 kursi. Namun, tiada yang bisa menebak dunia politik. mereka yang berpartisipasi mulai melangsungkan kampanyenya.
Masalah muncul. Keinginan menang dalam kontestasi politik 1991 tak mudah. Mesin politik partai harus mampu menang di atas 256 kursi sebagai syarat agar menang mayoritas dan memuluskan petingginya jadi PM India. Suatu kondisi yang tak mungkin bisa diraih oleh partai-partai yang ada di India.
Sebab, semuanya ingin menang. Jeleknya banyak yang menghalalkan segala cara. Narasi politik identitas jadi yang paling sering terlihat. Siasat menggunakan kasta dan agama dilakukan demi mendulang suara. Ada juga yang memanfaatkan hal itu untuk menggagalkan Pemilu 1991.
Pendukung partai satu dan lainnya tampak bentrok. Kondisi itu membuat dalam masa kampanye saja nyawa yang sudah melayang sudah mencapai ratusan orang. Sebagaian dari pemilih fanatik, sebagiannya dari calon anggota wakil rakyat.
“Panasnya musim panas di India membuat ketakutan akan kekerasan memuncak. Masalah itu ditambah dengan rasa muak rakyat India terhadap politisi yang dianggap tak berkontribusi bagi kepentingan politik. Pemilu kian keruh karena politik identitas makin menjadi-jadi.”
“Agama Sikhisme (sikh), Hindu, dan Islam seraya saling bermusuhan dan memunculkan perdebatan politik yang memicu ketegangan tinggi. Seorang pejabat Partai Kongres hari ini mengatakan bahwa ini mungkin merupakan pemilu paling penuh kekerasan yang pernah dialami negara tersebut,” terang Barbara Crosette dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Disgruntled India; The Voters Make Clear Their Discontent, Giving No Party a Majority in Low Turnout (1991).
Korban Jiwa Bejibun
Kontestasi politik itu kian menyala karena calon PM India mulai turun tangan kampanye di mana-mana. Mantan PM India era 1984-1989, Rajiv Gandhi bahkan ikut dalam kampanye pemilu. Rajiv berharap partainya dapat memenangi pemilu dengan meraih kemenangan mayoritas dan ia bisa melaju sebagai PM India kembali.
Pemilu tahap pertama berlangsung pada 20 Mei 1991. Kerusuhan yang memakan korban jiwa muncul di mana-mana. Banyak orang yang takut pergi ke TPS dengan alasan keamanan. Sehari setelah pemilu rangkum berita duka muncul dari Rajiv.
Rajiv yang jauh-jauh sudah memperingati bahwa Pemilu 1991 akan berlangsung panas justru kecolongan. Ia menganggap kunjungannya ke Sriperumbudur berjumpa dan berdekatan dengan rakyat setelah pemilu membawa gairah baru untuk menjabat kembali sebagai PM India.
Malang tak dapat ditolak. Momen bersama rakyat itu membuat cucu dari Perdana Menteri Pertama India, Pandit Jawaharlal Nehru merenggang nyawa. Rajiv termasuk dalam 20 orang yang meninggal karena bom meledak.
Kematian Rajiv membuat proses pemungutan suara tahap dua (23 Mei 1991) dan tiga (26 mei 1991) ditunda. Pemilu baru berlangsung lagi pada 15 Juni 1991. Masalah muncul. Hari pemilihan itu digunakan kelompok militan Khalistani (Sikh radikal) untuk menyerang orang Hindu.
Serangan itu dilakukan dengan mendatangi stasiun kereta api dan memberhentikan kereta api di Ludhiana, Punjab. Mereka yang beragama Sikh diminta keluar. Sedang yang Hindu lalu diberondong peluru tiada henti. Ratusan orang meninggal dunia dalam peristiwa berdarah di Punjab.
Baca juga:
- Beda Sambutan Kunjungan Mahmoud Ahmadinejad dan George W. Bush di Indonesia
- Dunia Menyambut Album Musik Pertama Shania Twain dalam Memori Hari Ini, 20 April 1993
- Pemerintah Belum Putuskan Minta Maaf atas Kasus Pembersihan PKI 1965 dalam Memori Hari Ini, 19 April 2016
- Beri Gaji ke Pendeta: Siasat VOC Kontrol Dewan Gereja
Hasil pemilu pun keluar. Tiada satu pun partai yang datang menenangkan kursi mayoritas. Kejadian pemilu berdarah itu kemudian mencoreng nama demokrasi India di mata dunia. Pemilu 1991 secara meyakinkan jadi salah satu kontestasi politik terburuk sepanjang masa.
“Sudah sekitar 700 orang tewas di Punjab, sejak pemilu diumumkan di sini April lalu (masa kampanye). Di antara para korban adalah 21 calon yang mewakili berbagai partai – kecuali Partai Kongres yang tak menunjuk calon dengan alasan keamanan.”
“Termasuk korban tewas adalah calon anggota parlemen yang mewakili Punjab, Jitender Singh. Ia dipancing pergi ke Gurdwara (kuil Sikh). Sesampainya di kuil, seseorang yang sudah menunggu langsung mengirimkan serentetan peluru. Ia tewas seketika,” terang A. Dahana dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pemilu dengan Banyak Korban (1991).