Sejarah Gudang Peluru Meledak di Indonesia
JAKARTA - Peristiwa gudang peluru meledak bukan satu dua kali terjadi di Indonesia. Masalah itu bahkan telah terjadi sejak Indonesia baru merdeka, atau pada Perang Revolusi. Korbannya bukan gudang peluru kubu Indonesia, tapi tentara sekutu di Dayeuhkolot, Bandung.
Semenjak itu, peristiwa gudang peluru meledak mengiringi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Gudang peluru Cilandak, gudang peluru Bojongkoneng, dan gudang peluru Pondok Dayung. Narasi itu jadi bukti hadirnya gudang peluru dapat jadi ancaman.
Upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak pernah mudah. Pejuang kemerdekaan mulai merapatkan barisan untuk melawan penjajah Belanda kali kedua pada 1945. Kaum pejuang segera melucuti senjata dan merebut kekuasan dari tangan Jepang.
Di Bandung, apalagi. Kondisi itu berlangsung dari hari ke hari. Masalah muncul. Pihak sekutu –tentara Inggris-- yang diboncengi Belanda meminta pejuang kemerdekaan menyerahkan senjata sitaannya. Demi keamanan, katanya.
Sekutu juga meminta kota Bandung dikosongkan dengan alasan yang sama. Perintah itu dimaknai dua sisi. Satu pihak ingin Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan Bandung sesuai instruksi. Satu pihak lain tak setuju jika mengosongkan Bandung begitu saja.
Siasat pun dimainkan. Segenap pejuang pun merencanakan siasat bumi hangus pada 23 Maret 1956, atau yang dikenal sebagai Peristiwa Bandung Lautan Api. Pucuk dicinta ulam tiba. Gudang peluru tentara sekutu di Dayeuhkolot jadi target utama siasat bumi hangus.
Upaya itu dilakukan oleh dua regu pejuang kemerdekaan. Regu pertama dipimpin oleh Moh. Toha. Regu kedua dipimpin oleh Achmad. Total mereka ada 11 orang. Alih-alih semuanya dibekali masing-masing senjata, tiap orang juga dibekali dua-tiga granat.
Bukan perkara mudah untuk dapat sampai ke gudang peluru. Mereka dipaksa menghindari ranjau dan hujanan peluru dari pasukan sekutu. Kedua regu pun kerepotan. Bahkan, ada yang berguguran. Sisanya ,mulai memaksakan diri untuk masuk dan meledakan gudang peluru.
Tekad itu membawakan hasil. Gudang peluru berhasil diledakan. Asap dan suara ledakan menghebohkan seisi Bandung bak tanda kemenangan. Imbasnya ke mana-mana. Total 20 orang tentara Belanda tewas. Semua alat perang peninggalan Jepang maupun sekutu ludes dilahap si jago merah.
“Tidak terhitung perbekalan mesiu dan persenjataan serta kendaraan yang disimpan di sana. Sementara, Moh. Toha sendiri tidak berhasil ditemukan. Namun, menurut seorang penduduk, yang ditemukan hanya sepotong tubuh mulai dari pinggang hingga kaki dalam keadaan terbakar. Potongan tubuh lainnya tidak diketahui.”
“Diduga, potongan tubuh itu berasal dari tubuh Moh. Toha. Pemuda Moh. Toha telah gugur sebagai bunga bangsa. Nama Pahlawan Bandung Selatan itu kemudian diabadikan menjadi nama jalan di kota Bandung: Jalan Moh. Toha. Di tempat yang dulunya merupakan gudang mesiu Belanda yang berhasil diledakkan, kini berdiri Monumen Moh. Toha,” terang Her Suganda dalam buku Wisata Parijs van Java: Sejarah, Peradaban, Seni, Kuliner, dan Belanja (2011).
Boleh jadi meledaknya gudang peluru di Bandung jadi peristiwa ledakan pertama sejak Indonesia merdeka. Namun, bukan berarti semua peristiwa gudang peluru meledak kerap dilabeli dengan semangat nasionalisme.
Beberapa di antaranya justru muncul dari sikap abai. Isi gudang yang seharusnya sudah harus dimusnahnya masih kerap disimpan. Pun ada juga terkait kegagalan prosedur pemindahan amunisi dan bahan peledak.
Gudang Peluru Cilandak (1984)
Peristiwa meledaknya gudang peluru milik Korps Marinir TNI AL Cilandak, Jakarta Selatan, mengagetkan seisi Nusantara. Semuanya bermula karena anggota marinir yang kebagian jaga malam dibuat panik dengan kemunculan asap dan api dari salah satu gudang peluru pada 29 Oktober 1984.
Inisiatif memadamkan api dilakukan. Upaya itu berhasil sementara waktu. Namun, nasib sial jadi milik Korps Marinir. Letupan bak mercon hajatan mulai terdengar pada pukul 20:00. Mulanya suara ledakan tak begitu besar. Belakangan suara ledakan yang menggelegar terjadi.
Kepanikan sudah pasti terjadi. Kawasan dekat dengan Korps Marinir waspada: Cilandak, Jagakarsa, dan Lenteng Agung. Ledakan membuat bangunan bergetak dan kaca-kaca pecah. Khalayak umum mulai panik kala ragam amunisi mulai jatuh di halaman maupun di ruangan rumah.
Meledaknya gudang peluru membuat korban jiwa berjatuhan. Tercatat korban yang meninggal dunia mencapai belasan orang. Mereka yang rumahnya kejatuhan amunisi aktif mencapai ribuan. Alhasil, banyak rumah rusak parah. Satu-satunya opsi memungkinkan adalah mengungsi.
“Ledakan gudang peluru dan mesiu di Cilandak, Jakarta Selatan membangunkan penduduk dan menggerakkannya menjadi pengungsi yang meninggalkan kampung halamannya,” tertulis dalam buku Membuka Cakrawala: 25 tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas (1990).
Beledug Bojongkoneng (1985)
Gudang peluru Depo Pusat Peralatan V (Dopuspol V), Bandung, Jawa Barat kerap meledak. Depo yang merupakan lembaga di bawah Puspalad (Pusat Peralatan Angkatan Darat: AD) tercatat pernah meledak pada 1955, 1965, dan 1985.
Peristiwa teranyar adalah pada 13 Maret 1985. Kala itu pihak yang kebagian jaga sedang melakukan bongkar amunisi dari truk ke gudang nomor 27. Truk pertama dapat diselesaikan dengan baik. Petaka muncul kala membongkar truk kedua.
Ledakan keras sampai terdengar hingga puluhan kilometer terjadi. Seisi Desa Mekar Saluyu dilanda kehebohan. Apalagi, peristiwa itu memakan korban jiwa hingga belasan orang. Ada pihak militer dan ada dari pihak sipil.
Empunya kuasa pun coba menjelaskan kronologisnya. Sekalipun mereka yang ikut memindahkan amunisi semuanya meninggal ditempat. Ledakan itu disinyalir hadir karena kecelakaan teknis memindahkan amunisi yang sudah tua. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama Beledug Bojongkoneng.
“Kabarnya, semua korban, termasuk anggota militer, mendapat perlakuan sama: uang santunan dan kenaikan pangkat anumerta. Ledakan amunisi pekan lalu tercatat yang ketiga dalam waktu enam bulan terakhir ini. Oktober tahun lalu gudang amunisi marinir di Cilandak, Jakarta, meledak dan menewaskan belasan orang. Sedangkan Januari lalu ledakan juga terjadi di gudang amunisi TNI AU di Madiun, kali ini tanpa korban,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Musibah Bojongkoneng (1985).
Gudang Peluru Pondok Dayung (2014)
Bencana ledakan hadir pula di gudang amunisi TNI AL dari Komando Pasukan Katak (Kopaska) di Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Peristiwa itu terjadi pada pukul 10:00 pada 5 Maret 2014. Peristiwa itu membawa keheranan dan kedukaan yang mendalam.
Semua itu karena publik baru tahu terkait markas Kopaska berada di tempat tersembunyi di sudut kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, di timur Pantai Ancol. Muaranya karena suara ledakan. Publik pun melihat mereka yang datang harus menggunakan perahu motor.
Mereka –prajurit TNI AL – yang menjadi korban mencapai 87 orang. Tiada warga sipil. Satu orang kritis dan seorang lagi meninggal dunia. Empunya kuasa menyebut ledakan itu dipicu oleh arus listrik yang mengenai amunisi yang tersimpan.
"Sampai sejauh ini belum ada identifikasi warga sipil (yang menjadi korban)," Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Untung Suropati sebaimana dikutip laman BBC, 5 Maret 2014.
Gudang Peluru Ciangsana (2024)
Khalayak umum berharap peristiwa meledaknya gudang peluru Kopaska Pondok Dayung jadi yang terakhir. Nyatanya, harapan tinggal harapan. Gudang peluru Kodam Jaya di Ciangsana di Bogor, Jawa Barat meledak pada 30 Maret 2024.
Ledakan itu dipicu oleh amunisi di Gudang nomor enam. Amunisi-amunisi yanag seharusnya sudah dijadwalkan untuk dimusnahkan jadi pemicu ledakan. Peristiwa itu membawa kehebohan di seantero negeri. Puluhan rumah rusak. Sekalipun tiada korban jiwa.
Baca juga:
- Gudang Peluru Markas Marinir Cilandak Meledak: Rumah Kapolri hingga Gus Dur Rusak Parah
- Pencipta Monster Godzilla Tomoyuki Tanaka Meninggal Dunia dalam Memori Hari Ini, 2 April 1997
- Mahfud MD Resmi Berhenti dari Jabatan Ketua MK dalam Memori Hari Ini, 1 April 2013
- Presiden SBY Jadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam Memori Hari Ini, 30 Maret 2013
”Rumah sempat bergetar hebat sehingga kami langsung keluar rumah untuk menyelamatkan diri,” ujar warga Parung Pinang, Nurul Ulfa sebagaimana dikutip surat kabar Harian Kompas, 1 April 2024.