Pentingnya Mengontrol Penggunaan AI bagi Media Pers
JAKARTA – Artificial Intelligence (AI) semakin marak digunakan dan mulai merambah ke dunia pers. Hal ini menyebabkan kekhawatiran bagi sejumlah pihak sehingga Dewan Pers membahasnya secara mendalam.
Dalam forum diskusi bertema Pers, Artificial Intelligence, dan Problem Penegakan Kode Etik Jurnalistik, dijelaskan bahwa AI berkaitan erat dengan pers, yang digelar di Hall Dewan Pers, Jakarta. Hal ini terjadi karena jurnalistik telah memasuki ranah digital.
Maka dari itu, Ketua Komisi Hubungan Antara Lembaga Dewan Pers Totok Suryanto mengatakan bahwa hubungan antara AI dan kode etik jurnalistik perlu dipelajari. Jika tidak dipelajari, pers bisa tertinggal dari perkembangan teknologi.
"Pers itu ternyata sangat erat berkaitan dengan itu (AI) dan saya pikir kalau kita tidak segera belajar, kalau kita tidak segera menguasainya, ini akan menjadi suatu kerugian bagi kita," kata Totok saat membuka forum diskusi pada Kamis, 28 Maret, yang juga disiarkan lewat Zoom dan kanal Youtube Dewan Pers.
Sejalan dengan pernyataan Totok, Praktisi AI Apni Jaya Putra mengatakan bahwa AI semakin berkembang, tetapi semakin tidak interaktif. Pasalnya, beberapa sektor mungkin terpapar dan dirugikan dengan hadirnya teknologi AI ini.
Apni pun mengutip temuan dari Harvard Business Review yang menyatakan bahwa ada banyak sektor atau profesi yang bisa terkena dampak AI. "Salah satu yang terpapar itu media dan yang paling cepat terpapar itu presenter."
Ada alasan yang cukup kuat mengapa AI bisa merugikan media. Jika berkaca dari kehadiran media, Apni mengatakan bahwa, "Media mainstream, terutama media tradisional, kita memiliki disiplin verifikasi yang kuat."
Hal ini berbanding terbaik dengan data yang dihasilkan oleh AI. Ketua Dewan Pengawas TVRI Agus Sudibyo menjelaskan bahwa data dari berbagai model AI biasanya berasal dari user di suatu platform sehingga hasilnya menjadi sangat bias.
Seperti Google misalnya. Ketika mereka membuat AI, mereka akan memanfaatkan berbagai teks dari platform yang mereka miliki dan teks ini berasal dari seluruh user. Ketika sudah hadir dalam bentuk AI, hak user atas data ini telah hilang.
Masalah lainnya yang timbul dari penggunaan AI generatif adalah apakah konten yang dihasilkan benar-benar universal dan mencerminkan pandangan seluruh pihak. Jika tidak, informasi yang dihasilkan AI akan bias dan merugikan media pers.
"Kalau data konten yang dirujuk oleh AI generatif misalnya atau data yang belum universal, maka jawaban analisisnya bukan merupakan jawaban analisis yang universal," jelas Agus. "Tidak mungkin ada produk jurnalistik yang bias, tetapi AI generatif masih sangat memungkinkan munculnya konten yang seperti itu."
Baca juga:
- Astronomer Inggris, Martin Rees, Mengkritik Pengiriman Manusia ke Luar Angkasa
- Perusahaan Bitcoin Texas Ekspansi ke Argentina, Manfaatkan Gas Terbuang untuk Penambangan
- Gubernur Florida Menandatangani UU Larangan Anak-anak di Bawah Usia 14 Gunakan Media Sosial
- Panasonic Berkolaborasi dengan Jasmy untuk Menghadirkan Platform Web3 Berbasis IoT
Untuk mengatasi masalah ini, Agus mengutip standar etika jurnalisme dan AI pertama dari Paris Charter On AI and Journalism. Dalam memanfaatkan AI, pers harus menjadikan produk AI sebagai, "bahan mentah atau materi setengah jadi."
Dengan menjadikan konten AI sebagai bahan mentah, seorang jurnalis bisa melakukan verifikasi data sebelum dipublikasikan agar tidak membagikan informasi yang menyesatkan. Selain itu, Apni juga menyarankan Dewan Pers untuk mengatur pedoman yang bisa menjadi acuan dalam menggunakan AI di industri media.
"Mestinya memang diangkat dalam bentuk aturan. Kominfo sudah mengedarkan surat edaran, tapi Dewan Pers yang memiliki konstituen media mestinya memang dibuat secara aturan pedoman yang dikeluarkan betul oleh Dewan Pers," jelas Apni.