Pengamat: Perpres Investasi Miras, Buat Aturan Gampang Ngawasinnya Susah

JAKARTA - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio meluruskan pernyataannya terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan investasi miras atau minuman keras berpotensi menarik masuknya modal asing. 

Menurutnya, bukan mendukung Perpres lantaran pelegalan miras mampu menarik investasi asing, namun pendapatan dari wisatawan mancanegara diperkirakan bakal turun seiring sepinya turis yang berkunjung karena sejumlah aturan diperketat.

"Jadi pemerintah itu kan mau membuat (pendapatan, red) pariwisata jadi nomor dua setelah migas, sehingga perlu diperhatikan. Karena gini, turis itu dateng kemana-mana dia pasti akan minum miras karena dengan santai relax di bar, di pantai atau di gunung, dimana, mereka pasti cari miras. Nah itu kan bolehnya di Bali, NTT, Sulawesi Utara dan Papua. Itu disitu yang boleh kan, memang karena itu kan (mayoritas.red) non muslim," ujar Agus kepada VOI, Senin, 1 Maret.

"Sementara ditempat lain kita punya daerah wisata yang mostly muslim karena miras memang haram menurut agama Islam. Kalau itu dilarang, turis enggak akan dateng kesitu," sambung dia.

Agus menuturkan, dari keempat daerah yang diperbolehkan izin edar miras, hanya Bali yang siap secara infrastruktur. Sehingga, aturan tersebut masih relevan diluar untuk kepentingan kearifan setempat.

"Yang siap hanya Bali. NTT, infrastruktur wisatanya belum lengkap apalagi Papua. Sulut juga kan macet turisnya," sebutnya.

Apabila diberlakukan selain keempat daerah tersebut guna tujuan wisata, Agus mengatakan destinasi pasti akan sepi wisman jika tidak diperbolehkan mengkonsumsi miras. Misal, di Yogyakarta dimana daerah tersebut masih belum terbuka dengan budaya turis seperti di Bali. Sehingga, bukan tempat utama wisman berlibur ke Indonesia.

"Kalau turis di Jogja enggak boleh miras ya sepi Jogja. Kita bicara wisman ya bukan turis lokal. Terus misal, di Kepri situ ada Bintan segala macem, enggak boleh (miras) ya sepi," paparnya.

 

Agus juga mencontohkan daerah pariwisata yang sepi didatangi turis mancanegara lantaran banyaknya larangan yang berlaku di daerah bersangkutan. Misal jika dibandingkan dengan branding Bali versus Lombok.

"Coba perhatikan kenapa Lombok sama Bali, Lombok (kalah ramai.red). Karena disana kan, pantai tidak boleh pake bikini lalu enggak boleh miras ya enggak ada yang dateng turis," ungkapnya. 

Menurut Agus, yang dikhawatirkan masyarakat adalah ketika orang mabuk membuat celaka orang lain. Sehingga negara harus mengatur bagaimana cara mengimplementasikan aturan tersebut. 

"Karena kalau semua itu tidak boleh kecuali empat daerah itu, pariwisata pasti susah bergerak karena infrastruktur dari empat daerah itu cuma Bali yang bagus. Labuan Bajo, NTT, masih growing tapi belum tentu juga bisa menjadi bagus, karena kan hanya lihat komodo dan laut aja, orang biasanya dateng sekali cukup. Kalau Bali banyak yang dilihat, jadi orang bisa bolak-balik. Maka pariwisata akan turun (jika melarang miras di daerah-daerah wisata yang banyak dikunjungi turis asing.red), itu konsekuensinya," beber Agus.

Agus menyarankan pemerintah belajar dari sistem pengawasan miras di luar negeri. Dimana, anak dibawah umur tidak boleh membeli minuman beralkohol. Caranya, dengan menunjukkan identitas pembeli. 

 "Jadi diatur saja, misalnya kalau beli miras harus tunjukkan KTP, artinya dia sudah dewasa. Tapi siapa yang akan ngawasi? Bagaimana dengan oplosan?

Sumbernya kan banyak dimana-mana terus gimana cara ngawasinya? Jadi menurut saya, tingkatkan pengawasannya. Kalau itu Perpres keluar ya ada konsekuensinya, pendapatan dipariwisata tidak bisa optimal karena turis itu mau santai kalau dilarang ya berat," kata dia.

Pemerintah, kata dia, perlu dan harus membuat skema pengawasan. Yakni, penugasan pihak mana yang bertanggungjawab mengawasi peredaran miras. Supaya miras yang beredar dengan legal tidak disalahgunakan hingga menimbulkan bahaya. 

"Jadi miras gini, aturan itu gampang buatnya termasuk Perpres tapi mengawasinya yang sulit. Gimana mengawasinya (jika) miras itu tidak dilarang dikonsumsi. Sementara yang namanya oplosan kan banyak, beli cap topi miring dikasih macem-macem mati orangnya. Nah itu yang begitu gimana ngontrolnya? Jadi implementasi dari aturan kita itu yang lemah," kata Agus menambahkan.

Karenanya, Agus menilai pemerintah harus mengkaji ulang bagaimana pengawasan terkait peredaran miras. Sebab kata dia, peraturan bisa dengan mudah dibuat sementara penerapannya sulit dilakukan.

"Dari sisi kebijakan gitu, mesti pas bikin peraturan. Kebijakan gampang yang susah menjalankannya. Disini kalau ada pelanggaran diselesaikan dengan uang," tandasnya.