RI Berpotensi Kehilangan Rp15,67 Triliun Imbas Kebijakan Harga Gas Murah
JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat RI berpotensi kehilangan 1 miliar dolar AS atau setara Rp15,67 triliun akibat kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi mengatakan 1 miliar dolar AS yang hilang tersebut diakibatkan pemerintah harus mengisi gap atau selisih antara HGBT dengan harga pasar. Asal tahu saja, HGBT aat ini ditetapkan sebesar 6 dolar AS per MMBTU.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020, penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Jika harga gas di hulu diturunkan, maka penerimaan negara yang harus dikurangi.
"Kalau nilainya saat ini sedang kita coba evaluasi dan kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di tahun 2023 ini bisa mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS pada potensi penurunan penerimaan negara atau penyesuaian penerimaan negara," ujar Kurnia dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit, Rabu 8 Februari.
Baca juga:
Kurnia menambahkan, angaka ini merupakan jumlah sementara dan masih akan dihitung lebih lanjut. Ia juga menyebut, penerimaan negara yang berkurang ini harapannya bisa dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak dari multiplier effect yang dirasakan dari industri-industri yang memanfaatkan HGBT.
"Ini sedang evaluasi untuk bisa nanti merumuskan kebijakan melanjutkan HGBT ini kedepan," sambung Kurnia.
Untuk informasi, harga gas murah tersbut masih dimanfaatkan oleh 7 industri antara lain pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet dan akan berakhir pada April tahun 2024.
Lebih jauh Kurnia menjelaskan hingga saat ini realisasi realisasi serapan gas di sektor industri mencapai 95 hingga 96 persen.
Dikatakan Kurnia, salah satu penyebab serapan gas tidak maksimal adalah adanya kesepakatan kept whole karena ketidakcukupan penerimaan negara untuk kept whole pada KKKS. Padahal kebijakan ini sudah berjalan sejak adanya Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara KKKS dan pembeli gas.
"Jadi saat itu harga PJBG kemudian diturunkan kepada harga yang ditargetkan 6 dolar sehingga gapnya itu yangg di-kept whole. Dalam rangka kept whole itu ada juga ketidakcukupan bagian negara yang direncanakan. Karena pada saat penyusunan Kepmen masih menggunakan proyeksi-proyeksi harga perkembangan minyak, amonia," beber Kurnia.
Selain karena kept whole, alasan lain serapan gas tidak maksimal adalah adanya faktor dari sisi hulu seperti rencana produksi yang mengalami kendala operasional sehingga mengakibatkan ada alokasi yang sudah direncanakan dalam Kepmen menjadi ada sedikit fluktuasi.
"Kedua, dari sisi midstream dan downstreaming karena ada industri yang belum mampu menyerap karena kendala operasional atau karena turn around mungkin sedang shutdown sementara atau dapat alternatif energi, kami sedang lakukan pendalaman," pungkas Kurnia.