Sulingan Arak China untuk Pemabuk Belanda
JAKARTA - Pengaruh etnis China di Nusantara begitu besar. Eksistensi industri minuman keras (miras) adalah salah satu buktinya. Dalam industri miras, dari hulu ke hilir, semuanya mereka pegang. Penyulingan arak pun jadi industri utama di Batavia sejak 1611. Industri arak Batavia kemudian terkenal di seantero negeri, terutama di Asia dan sebagian besar Eropa.
Industri arak dan orang China di Batavia adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam artian filosofis, hanya orang China yang dapat menyuling arak berkualitas. Tak peduli siapa saja pemilik pabrik penyulingan, baik itu orang Eropa atau orang China, haram hukumnya mengangkat orang lain selain etnis China sebagai tukang rebus arak. Mereka penentu kualitas sekaligus rasa, entah itu untuk arak berbahan utama beras, tetes tebu, dan nira.
“Industri arak Batavia yang mutunya baik juga dipegang orang China. Prosesnya, yaitu sekitar 70 pon ketan ditaruh dalam tong, di sekelilingnya dituang air sebanyak seratus kaleng, dan di atasnya dituangi gula cair 20 kaleng. Setelah didiamkan selama dua hari, dipindahkan ke tong yang lebih besar, dengan ditambahkan empat ratus kaleng air dan seratus kaleng gula cair,” tulis Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya, The History of Java (1817).
Raffles menambahkan prosesnya kadang dilakukan di udara terbuka. Proses penyulingannya sampai tiga kali. Hasil sulingan ketiga disebut sichew, kedua, tanpo, dan sulingan pertama: kiji. Keseluruhan proses hingga semua sulingan selesai tak lebih dari sepuluh hari. Wadah yang digunakan pun tak boleh sembarang. Harus wadah yang terbuat dari tembaga dengan tinggi enam inci di atas permukaan tong. Itulah cara utama untuk membuat arak berkualitas.
Untuk mengetahui kualitasnya, orang China biasanya membakar sedikit cairan alkohol. Nantinya, sedikit atau banyaknya sisa pembakaran jadi indikator ketinggian kadar alkohol arak. Sejarawan, Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1 (2008) menatakan kadar alkohol biasanya beragam. Ada arak berkadar alkohol 60 persen. biasanya ditujukan untuk pasar lokal. Ada pula arak berkadar alkohol 60 persen yang bermutu tinggi, yang dijual kepada orang Belanda. Sementara, arak kategori tiga merupakan hasil campuran air. Kadar alkoholnya hanya 50 persen.
Industri penyulingan arak kala itu cukup besar karena pada tahun 1710 pabrik gula di Batavia sudah mencapai 130 dari 84 pengusaha di Ommelanden (daerah luar Batavia). Proporsinya, 79 milik orang Tionghoa, empat orang Belanda, dan satu orang Jawa. Penggilingan tebu pun begitu. Tercatat, penggilingan tebu di Batavia mencapai 131 pabrik. Di antaranya, 48 buah berada di barat Sungai Ciliwung, dan 82 buah di sebelum timur Sungai Ciliwung.
Memasuki tahun 1793, jumlah pabrik arak telah mencapai 20 buah, dengan rata-rata produksi per hari mencapai seratus drum. Lantas, membuat arak dengan kualitas nomor wahid jadi hal yang memungkinkan kala itu di Batavia. Saking besarrnya, arak Batavia terkenal di seantero Asia, sebab sebagian besar arak diekspor ke Benggala (Bangladesh), Koromandel, dan Sri Lanka.
Salah satu yang menyukainya adalah kapten kapal dagang Inggris, Woodes Rogers yang kesohor. Selain memuji Batavia sebagai salah satu kota paling menyenangkan di seluruh dunia, ia juga memuji arak Batavia sebagai miras terenak.
“Orang-orang kita saling merangkul dan memberkati diri sendiri karena mereka berhasil tiba di tempat yang begitu luar biasa racikan punch –arak—nya,” ungkap Woodes Rogers dikutip Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1959).
Belanda doyan mabuk
Batavia, selain dikenal sebagai penghasil miras berkualitas, orang Belanda yang mendiami kota itu juga terkenal gemar mabuk miras. Bahkan nama Batavia yang merupakan kenangan akan suku bangsa Batavier –nenek moyang bangsa Belanda— dicetuskan saat serdadu Belanda lagi mabuk. Bernard H.M Vlekke membenarkan hal itu. Ia menegaskan di tengah penaklukkan Jayakarta, para serdadu Belanda melakukan pesta pora ditemani banyak anggur dan wanita.
Setelahnya mereka berdoa dapat memenangi pertarungan. Tepat di tengah pesta, para perwira Belanda menyadari benteng mereka tak memiliki nama. Salah seorang serdadu lalu meneriakkan nama "Batavia." Demikianlah asal-usul Kota Batavia yang tak sengaja tercetus di tengah pesta miras orang Belanda.
“Tiba-tiba dalam sebuah pesta kemenangan ada seorang seldadoe VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata-kata: Batavia.. Batavia. Entah bagaimana prosesnya, akhirnya kota yang terletak di muara sungai Ciliwung dan sekitarnya itu akhirnya bernama Batavia,” imbuh salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).
Singkat cerita, dengan menjamurnya pabrik penyulingan arak, kebiasaan mabuk-mabukan makin meningkat. Tak heran kalau tak lama kemudian muncul tempat-tempat minum di sepanjang kali Ciliwung. Kalau tahun 1744 jumlah kedai hanya selusin, pada 1777 jumlah itu sudah jauh meningkat menjadi 102 buah. Padahal, jumlah orang Belanda pada saat itu belum begitu banyak.
“Yang disajikan waktu itu bukan hanya arak saja, tetapi juga bir Belanda dan Inggris, Spanyol dan Afrika Selatan. Tak mengherankan kalau penguasa Belanda kemudian menjadi risau. Di tempat-tempat minum itu, banyak terjadi perkelahian akibat mabuk. Perang mulut sering berakhir dengan perkelahian berdarah,” tertulis dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).
Oleh sebab itu, penguasa Belanda selalu mewanti-wanti kepada mereka yang baru datang ke Hindia-Belanda agar menjauhi miras. Tak terkecuali bagi mereka yang bertugas seorang serdadu Belanda. Menurut penuturan salah satu serdadu Belanda asal Amsterdam H.C.C. Clockener Brousson. Mereka (serdadu) yang baru sampai ke Batavia disarankan untuk menghindari miras sebelum melangkah bebas di jalanan kota yang berjuluk Ratu dari Timur.
“Saya sendiri masih ingat peringatan Mayor Bootsma agar tidak tergoda untuk ikut-ikutan mabuk. Kelak, di lapangan saya dapat melihat para pahlawan “pahit” itu, biasanya nyaris kehilangan akal, dilaporkan sering sakit, memenuhi rumah sakit, dan membuat sibuk para penggali kubur,” cerita H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004).