Jika Tiga Periode, Jokowi Mau Jadi Soekarno apa Soeharto?
JAKARTA - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali muncul seiring berhembusnya isu amandemen UUD 1945. Dimana dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pengamat politik Andriadi Achmad menegaskan, dalam sistem demokrasi tentu diatur pembatasan. Yakni, presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat selama dua periode.
Apabila presiden dapat menduduki jabatan yang sama setelah 10 tahun memimpin, maka sistem demokrasi yang dianut hari ini sudah tidak lazim. Hal ini, menurut Andriadi, sama saja kembali pada jaman orde baru dimana Soeharto menggenggam jabatan presiden selama 32 tahun.
"Kalau menurut saya kita kan masuk orde reformasi, artinya ada perubahan-perubahan cukup mendasar dari masa orde baru. Dimana masa itu kan tidak ada pembatasan, presiden bisa dipilih berkali-kali, bahkan Soeharto sampai enam kali. Ini memang tidak lazim dalam sebuah sistem demokrasi. Karena sistem demokrasi tentu ada pembatasan," ujar Andriadi kepada VOI, Jumat, 26 Februari.
Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC itu menjelaskan, pembatasan pada sistem demokrasi saat ini tujuannya adalah untuk membungkam abuse of power atau penyelewengan kekuasaan. Sebab, jika kekuasaan yang dominan seperti itu maka dapat dikatakan masuk dalam rezim otoriter.
"Karena di negara otoriterisme atau negara yang menganut otoriter itu rata-rata pemimpin mereka panjang rentangnya," jelas Andriadi.
Baca juga:
- Meski Elektabilitas Tinggi, Nasib Ganjar di Pilres 2024 di Tangan Megawati
- Jika Jokowi-Prabowo Maju di Pilpres 2024, Dipastikan Lawan Kotak Kosong
- Survei LSI: Mayoritas Responden Pilih Prabowo Subianto di Pilpres 2024, Menyusul Ganjar Pranowo
- Ganjar Pranowo Ungguli Anies Baswedan di Bursa Calon Pilpres 2024, Prabowo Subianto di Posisi Puncak
Ia mencontohkan, dalam masa kekuasaan Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu mulai otoriter ketika sudah memimpin dalam waktu yang lama.
"Seperti demokrasi terpimpinnya Soekarno dalam artian tidak ingin membatasi. Makanya ketika dia mencetus demokrasi terpimpin dan menjadi presiden seumur hidup pada saat itulah dia mulai otoriter," kata Andriadi.
Sama halnya dengan masa kepemimpinan Soeharto. Meski dalam masa pemerintahannya banyak pembangunan untuk kepentingan rakyat, namun kala itu demokrasi justru terbungkam.
Akan menjadi tidak berbeda dengan era Jokowi saat ini, jika ingin meneruskan kepemimpinannya. Dikhawatirkan, sistem demokrasi yang sudah susah payah dibangun akan kembali kepada rezim otoriter.
"Meskipun Soeharto sistem Pancasila, tapi mau tidak mau rezim dia otoriter sebenarnya. Walaupun dia bisa menutupi itu dengan pembangunan dll. Jadi, ini kembalinya wacana untuk pilpres atau Jokowi tiga kali, saya khawatir ini akan terulang kembali apakah demokrasi terpimpin Soekarno ataukah demokrasi pancasilanya Soeharto, dimana demokrasi itu terbungkam," ungkap Andriadi.
"Jadi sia-sia dong reformasi yang sudah kita perjuangkan, yang kita harapkan jadi lebih baik malah menjadi sebuah kemunduran dalam sistem demokrasi kita, ini bahaya. Bahaya wacana presiden ketiga kali bahkan seterusnya sama dengan rezim Soeharto," sambung dia.
Andriadi pun menyarankan agar Indonesia berkaca dengan dengan sistem yang telah berlaku di Amerika Serikat terkait pemilu. Terlebih Indonesia adalah negara yang berdemokrasi.
"Kita bercermin lah, misalnya di AS presiden dibatasi dua kali cukup untuk tidak terjadinya abuse of power. Kedua otoriterisme, karena kita sistem demokrasi. Kecuali bukan sistem demokrasi memang sistem otoriter biasanya seperti negara-negara komunis sosialis," tutupnya.