Tether Terancam Regulasi AS, CEO Tether Paolo Sindir JPMorgan

JAKARTA - Tether, stablecoin yang paling banyak digunakan di dunia kripto, menghadapi ancaman regulasi dari otoritas Amerika Serikat (AS). Hal ini diungkapkan oleh laporan riset terbaru dari JPMorgan, bank terbesar di dunia, yang dirilis pada hari Kamis, 15 Februari 2024.

Stablecoin adalah jenis mata uang kripto yang nilainya dikaitkan dengan aset lain, seperti dolar AS atau emas, untuk mengurangi volatilitas harga. Tether, yang memiliki simbol USDT, adalah stablecoin yang nilainya setara dengan satu dolar AS.

Menurut laporan JPMorgan, meskipun Tether beroperasi sebagai entitas non-AS, namun tetap berada di bawah pengawasan Kantor Pengendalian Aset Asing (OFAC), sebuah unit Departemen Keuangan AS yang bertugas mengawasi sanksi ekonomi dan perdagangan.

OFAC memiliki kewenangan untuk memberlakukan sanksi terhadap individu, organisasi, atau negara yang dianggap melanggar kebijakan AS, termasuk di bidang kripto. OFAC juga dapat memengaruhi penggunaan Tether di luar negeri dan menuntut kepatuhan terhadap standar regulasi seperti Know Your Customer (KYC) dan Anti-Money Laundering (AML).

Laporan JPMorgan memperingatkan bahwa regulasi stablecoin yang akan datang, baik di tingkat nasional maupun global, kemungkinan akan memberikan "tekanan tidak langsung" pada Tether, yang dapat mengurangi daya tariknya dibandingkan dengan stablecoin lain yang lebih transparan dan patuh terhadap aturan.

Tether sendiri telah menghadapi banyak kontroversi terkait cadangan asetnya, yang diklaim sebagai jaminan untuk setiap USDT yang beredar. Tether telah berjanji untuk meningkatkan transparansi dan mempublikasikan data secara real-time, namun laporan JPMorgan menyatakan bahwa hal ini tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatiran pasar.

Tekanan regulasi ini juga akan berdampak pada platform keuangan terdesentralisasi (DeFi), yang merupakan salah satu sektor yang paling berkembang di dunia kripto. DeFi adalah sistem yang memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai aktivitas keuangan, seperti pinjam-meminjam, pertukaran, atau investasi, tanpa perantara seperti bank atau bursa.

USDT merupakan sumber utama jaminan dan likuiditas di platform DeFi, dengan pangsa pasar sekitar 60% di antara stablecoin lainnya, menurut data dari Coingecko. Jika Tether mengalami gangguan atau pembatasan, maka hal ini dapat mengganggu operasi dan pertumbuhan DeFi.

Salah satu contoh pengaruh OFAC terhadap Tether adalah kasus Tornado Cash, sebuah platform yang memungkinkan pengguna untuk meningkatkan privasi transaksi mereka di jaringan Ethereum, salah satu infrastruktur utama di dunia kripto. Tornado Cash dijatuhkan sanksi oleh OFAC pada tahun 2022, karena diduga terlibat dalam kegiatan pencucian uang.

Akibatnya, Tether diminta untuk membekukan USDT yang disimpan di dompet kripto yang terkait dengan Tornado Cash, yang berjumlah sekitar 5,5 juta dolar AS (Rp 77 miliar). Awalnya, Tether menolak untuk melakukannya, namun akhirnya menurut pada bulan Desember 2023, dengan alasan tindakan keamanan proaktif.

Laporan JPMorgan menyimpulkan bahwa, meskipun tindakan hukum terhadap entitas di luar negeri dan perusahaan terdesentralisasi sulit dilakukan, namun langkah-langkah tidak langsung dan kerja sama internasional dapat menghambat penggunaan Tether di pasar kripto.

Sementara itu, CEO Tether Paolo Ardoino merespons laporan JPMorgan dengan sindiran. Dia menuduh bank tersebut sebagai munafik, karena memiliki catatan buruk dalam hal regulasi dan denda. Dia juga mengatakan bahwa JPMorgan mungkin merasa cemburu terhadap dominasi Tether di dunia kripto.

"Kekhawatiran saat ini JPMorgan tampaknya lebih terkait dengan rasa cemburu mereka terhadap perkembangan layanan keuangan dan pembayaran, yang selama satu dekade telah mereka abaikan, dan sekarang mereka kesal karena mendapat banyak perhatian. Jika saya mereka, saya akan lebih khawatir tentang denda total mereka sebesar 39 miliar dolar AS (Rp 546 triliun)," kata Ardoino.