Tak Ada Kata Bercanda di Dalam Pelecehan Seksual

JAKARTA - Lima orang siswa SMK di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara jadi tersangka pelecehan seksual terhadap teman sekolah mereka. Kasus ini terungkap setelah video pelecehan itu tersebar di media sosial baik di Twitter dan Instagram.

Lima tersangka itu dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun kurungan.

Motif kelimanya melakukan pelecehan seksual ini hanya sekadar bercanda, untuk mengisi waktu menunggu guru masuk ke kelas. Padahal akibat kejadian tersebut, korban mengalami trauma.

Berkaca dari kasus tersebut, psikolog Rose Mini Agoes Salim mengatakan candaan dengan melakukan pelecehan adalah satu hal tak bisa ditoleransi. Karenanya, dia menganggap pendidikan seksual perlu diterapkan yang materinya dijelaskan bagian-bagian tubuh yang boleh dipegang oleh lawan jenis.

"Enggak ada iseng bercanda untuk pelecehan seksual itu tetap saja tidak benar. Jadi bercanda itu ada batasan, anak yang sudah melakukan pendidikan seks itu dia akan tahu mana bagian tubuh yang tidak boleh dipegang, mana bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, tidak boleh diomongin, dilecehkan dengan cara iseng, anak itu tahu," kata Rose kepada VOI saat dihubungi lewat sambungan telepon, Rabu, 11 Maret.

Pelecehan, menurut Rose biasanya dilakukan oleh pihak yang merasa dirinya punya power terhadap orang lain. Sehingga, perlu membuat anak merasa punya percaya diri untuk melawan pelaku pelecehan seksual.

"Pada waktu dia mengalami hal tersebut dia boleh bilang ke pelaku atau orang lain saya enggak suka diperlakukan seperti ini. ... Makanya anak-anak kita, harus dibekali kemampuan untuk mengatakan tidak atau melakukan sesuatu, bicara akan sesuatu yang dia alami. Sehingga dia tidak diam saja karena dia takut," jelasnya.

Rose menambahkan, seorang korban pelecehan seksual harus mendapatkan ruang untuk bicara hal yang telah dia alami. Membuat anak merasa aman dan nyaman menyampaikan apa yang dia rasakan, merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan sebagai penanganan traumanya.

Selain untuk membuka peristiwanya, hal ini juga berguna agar pelecehan ini bisa segera dilaporkan oleh pihak berwajib. Tujuannya, agar proses hukum bisa segera dilakukan.

"Mereka untuk bisa terbuka itu harus punya kanal atau channel untuk dia bisa bercerita dulu. Kenapa dia engga mau cerita, karena dia takut dan yang kedua tadi malu kan. Sehingga, memang harus masuk ke ahli agar bisa diajak bicara untuk meyakinkan dirinya."

Psikolog Rose Mini Agoes Salim

Diketahui, pelecehan seksual memang kerap terjadi di dunia pendidikan. Pada tahun 2019 lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 21 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban sebanyak 123 siswa yang terdiri dari 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki.

Dari data itu KPAI juga menyebut 21 kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah tersebut, 13 kasus atau sebanyak 62 persen terjadi di jenjang SD, 5 kasus atau 24 persen di jenjang SMP/sederajat dan 3 kasus atau 14 persen di jenjang SMA.