Siapa Bilang Pelecehan Seksual Hanya Terjadi pada Perempuan?
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Siapa bilang pelecehan seksual di ruang publik khususnya transportasi umum hanya dialami wanita? Dari hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilaksanakan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tercatat, ada 1 dari 10 laki-laki yang nyatanya mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Perwakilan KRPA, Rastra mengatakan, dari hasil survei yang diikuti 62.224 responden perempuan dan laki-laki, sebanyak 46,80 persen responden mengaku mengalami pelecehan seksual. Mereka mengalami pelecehan seksual saat menggunakan transportasi umum seperti bus, KRL, dan angkot.

"Responden laki-laki juga mengalami pelecehan seksual di bus sebanyak 42,89 persen, KRL sebanyak 24,86 persen, dan angkot sebesar 19,65 persen," kata Rastra saat memaparkan hasil survei mereka di Kantor Komnas Perempuan, jalan Laturharhari, Jakarta Pusat, Rabu, 27 November.

Hanya saja, pelecehan terhadap laki-laki tak setinggi tindak pelecehan yang dialami perempuan. Kata Rastra, survei ini merekam, perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual. 

"Survei nasional ini menemukan bahwa 3 dari 5 persempuan mengalami pelecehan di ruang publik," tegasnya.

KRPA mencatat, pelecehan seksual terhadap perempuan banyak terjadi di bus umum dengan persentase 35,45 persen, angkot 30,01 persen, dan KRL 17,79 persen. Sedangkan sisanya, terjadi di ojek online dan ojek konvensional dengan angka berkisar 4 persen.

Bentuk pelecehan seksual yang diterima para penyintas ini pun beragam, yaitu dalam bentuk verbal, fisik, dan nonfisik.

Adapun jenis pelecehan verbal yang biasa dialami adalah siulan atau suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual secara gamblang, komentar seksi, komentar rasis, main mata, difoto secara diam-diam, diintip, diklakson.

Sedangkan untuk pelecehan fisik, biasanya pelaku akan menyentuh, meraba, atau menggesek alat kelamin mereka. Sedangkan bentuk pelecehan nonfisik biasanya dilakukan dengan cara menghadang, memperlihatkan kelamin, mendekati secara agresif dengan terus menerus, dan menguntit.

"Penting untuk masyarakat tahu beragam bentuk pelecehan ini agar lebih dapat mengidentifikasi sehingga kemudian dapat membantu mengintervensi ketika pelecehan terjadi," ungkap dia.

Dari hasil survei ini, diketahui ternyata cukup banyak saksi yang berusaha mengabaikan kejadian pelecehan. KPRA mencatat, sebanyak 40,50 persen abai dengan pelecehan seksual yang terjadi di hadapannya. Bahkan, sebanyak 14,80 persen saksi justru menyalahkan korban pelecehan saat peristiwa itu terjadi.

"Sedangkan untuk yang membela dan menolong korban jumlah persentasenya mencapai 36,50 persen. Caranya biasanya mengkonfrontasi pelaku secara langsung dengan jumlah persentase sebanyak 22,90 persen, mengalihkan perhatian atau distract pelaku sebesar 25 persen," jelas Rastra.

Sedangkan sisanya, sebanyak 33,90 persen saksi biasanya memastikan korban tidak apa-apa dan sebanyak 13,40 persen saksi langsung berusaha mencari bantuan dengan melaporkan pada pihak keamanan atau orang lain yang dapat membantu.

"Ketika pelecehan terjadi di ruang publik, adalah tanggungjawab orang sekitar atau saksi, bukan korban untuk membantu mengintervensi atau menghentikan kejadian," tegas dia.

Konferensi pers tentang Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilaksanakan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) (Wardhany Tsa Tsia/ VOI)

Sarana transportasi publik khusus wanita bukan solusi

Maraknya aksi pelecehan seksual sebenarnya sudah dicoba untuk diselesaikan oleh para pemangku kepentingan di bidang transportasi publik. TransJakarta misalnya, Kepala Humas dan Sekretaris PT. Transportasi Jakarta Nadia Diposanjoyo mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah menyediakan bus khusus wanita atau bagian bus yang boleh dinaiki khusus perempuan saja.

"Hanya saja, ternyata di lapangan perempuan masih suka naik ke bagian bus yang untuk umum. Padahal di sana rentan terjadi kasus pelecehan seksual," katanya saat hadir dalam acara tersebut.

Tak hanya TransJakarta, MRT dan Commuter Line sebenarnya juga punya gerbong yang khusus memuat perempuan. Namun, nyatanya, masih banyak perempuan yang lebih nyaman duduk di gerbong bercampur dengan laki-laki.

Dari pantauan dari reaksi warganet di media sosial, banyak perempuan yang justru merasa tak nyaman bila duduk di gerbong perempuan. Apalagi di jam sibuk saat gerbong terisi penuh. Sebab, gesekan sedikit saja di gerbong ini maka bisa terjadi adu mulut berkepanjangan.

Hal ini pun diamini oleh Co-Director Hollaback Jakarta, Vivi. Organisasi yang perhatian dengan pelecehan seksual ini mengatakan gerbong yang dikelompokkan sesuai jenis kelamin tak memberikan pengaruh apapun.

"Ini sebenarnya tidak menyelesaikan. Kayak gerbong wanita itu kan malah menimbulkan masalah lain ya, atau malah ada juga laki-laki yang nanya kok ada perempuan di gerbong campur padahal sudah dikasih gerbong khusus. Nah, ini malah membatasi ruang gelap," kata Vivi.

Ada alasan khusus juga mengapa perempuan yang duduk atau menempati gerbong khusus biasanya lebih galak. Menurut dia, wanita tersebut biasanya merasa ruang amannya hanya ada di gerbong tersebut sehingga mereka kemudian saling berebut dan justru membuat sesama perempuan tak nyaman.

"Ya, makanya itu tidak menyelesaikan permasalahan. Makanya dalam jangka panjang harus ada edukasi juga kepada masyarakat mengenai pelecehan dan seperti apa sih pelecehan itu," ungkapnya.

Dia menambahkan, kurangnya edukasi seksual sebenarnya juga menjadi salah satu akar permasalahan dari maraknya pelecehan seksual. Sebab, masyarakat jadi kurang mengerti soal batasan seksual yang biasanya diajarkan dalam pendidikan seksual.

"Mereka tidak well inform terhadap isu-isu ini. Mereka tak paham mana sebenarnya bercanda, mana yang pelecehan," tegas Vivi.

Selain tak mendapat informasi soal pelecehan seksual, masyarakat juga tak tahu batasan tubuh mana yang boleh atau tak boleh dipegang oleh orang lain. "Tidak ada pendidikan komperhensif mengenai hal seksual dan reproduksi. Mereka tidak tahu batasan-batasan mana sih tidak boleh disentuh," jelas Vivi.

Selain itu, dia menilai ada budaya romantisasi terkait pelecehan seksual. Salah satunya adalah soal cat calling atau bersiul yang selama ini dianggap berlebihan jika dibilang sebagai pelecehan seksual.

"Kayak tadi cat calling dianggap memuji, hal-hal itu yang sebenarnya masyarakat belum tahu dan banyak juga saat mereka jadi pelaku, mereka enggak sadar yang mereka lakukan adalah kekerasan karena tadi balik lagi edukasi seperti itu tidak ada," tutupnya.