Bagikan:

JAKARTA - Tak bisa dipungkiri, kasus pelecehan seksual kerap terjadi di ruang publik khususnya transportasi umum. Bahkan berdasarkan hasil survei Koalisi Ruang Publik AMAN (KRPA), sebanyak 46,80 persen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.

Founder Komunitas PerEMPUan, Rika Rosvianti menjelaskan, pelecehan seksual yang dialami perempuan kerap terjadi pada moda transportasi umum. Beberapa di antaranya mengalami catcalling secara verbal, body shaming hingga tindakan fisik. 

"Pelecehan verbal di antaranya siulan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual yang gamblang, komentar seksis, dan komentar rasis," kata Rika dalam diskusi pencegahan pelecehan seksual di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat, Jumat, 27 Desember. 

Sementara, kata dia, pelecehan bentuk fisik adalah main mata, difoto secara diam-diam, gestur vulgar, mempertontonkan aksi masturbasi publik atau memperlihatkan alat kelamin. Tindakan paling agresif yang dilakukan pelaku pelecehan seksual, bisa sampai mendekati korban secara memaksa, menguntit hingga meraba bagian tubuh lawan jenis dengan kemaluannya. 

Sayangnya, kebanyakan korban pelecehan seksual cenderung tidak berani melaporkan jika mengalami hal tersebut. Mengingat, para korban tidak memiliki bukti apapun bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual.

"Bahkan, kalau korban membela diri dengan menampar pelaku, pelaku bisa melaporkan balik dengan bukti bekas tamparannya. Jadi, korban takut melapor," ucap Rika. 

Diskusi publik tentang pelecehan seksual di transportasi umum (Diah Ayu Wardani/VOI)

Lalu, kata Rika, kebanyakan korban saat mengalami pelecehan seksual, mereka tidak sanggup melawan karena ada efek psikologis di mana mereka merasa ketakutan dan tidak dapat bergerak bebas. Sehingga, dia tidak bisa segera merekam perbuatan pelaku sebagai bukti. 

"Jika dia sudah melapor, di kantor polisi, polisi bertanya, kamu melawan apa enggak. Padahal, korban jika mendapat kekerasan seksual, mereka banyak yang terkena panic immobility, saat kita dilecehkan, kita(perempuan) cenderung tidak bisa melawan karena takut," tambah dia. 

Hal tersebut juga diakui oleh VP Corporation Communication PT KCI Anne Purba. Kata Anne, KCI telah menyediakan layanan pelaporan terhadap korban yang mengalami pelecehan seksual di KRL. 

Namun, pada beberapa kasus, korban yang melapor kasus ini kepada KCI malah ingin menutup kasus pelecehan yang mereka terima. Alasannya, mereka tak ingin berurusan dengan pelaku dan takut orang lain mengetahui bahwa dirinya menjadi korban. 

"Ketika ada kasus yang diadukan oleh korban kepada KCI, lalu kita bertanya apakah korban bersedia melayangkan kasus ke ranah hukum, mereka malah bilang, meminta kasus berhenti sampai di tempat pengaduan saja," ungkap Anne. 

Bahkan, beberapa kasus pelecehan ada yang direkam melalui ponsel pengguna kereta lain dan menjadi viral di media sosial. Dampaknya, wajah korban yang terpampang di dalam video menjadi banyak dilihat orang.

"Makanya, kami sangat meminta kepada teman kalau ada video boleh dilaporkan ke KCI terlebih dahulu sebelum diviralkan, karena itu menjadi beban bagi korban," ungkap dia. 

Kampanye lawan tindakan pelecehan seksual di transportasi umum (Diah Ayu Wardani/VOI)

Lebih lanjut, untuk meminimalisasi kasus pelecehan seksual di transportasi umum, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), Komunitas PerEMPUan, dan komunitas Anker (Anak Kereta) Twitter menggencarkan kampanye untuk mencegah pelecehan seksual di ruang publik dalam kegiatan bertajuk "Transportasi Yang Aman Untuk Semua".  

Founder AnkerTwiter, Fikri Muhammad Gazi mengajak sesama pengguna KRL untuk meningkatkan perhatian pada lingkungan sekitar, khususnya kepada sesama pengguna KRL. Dengan meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan,  pengguna yang mengalami pelecehan seksual yang tidak berdaya menjadi bisa terbantu untuk keluar dari situasi tersebut bisa terbantu

"Ke depannya, Anker Twitter ingin menjadi lebih dari sekadar komunitas pengguna kereta. Anker Twitter berharap dapat menjadi "partner" KCI yang tidak hanya memberikan kritik, namun mendukung dan mendorong KCI untuk meningkatkan respon dalam memberantas Tindak Pelecehan Seksual di transportasi publik." jelas Fikri.