AKSI Yakin Direct License oleh Pencipta Lagu Tidak Menyalahi Aturan
JAKARTA - Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menanggapi pernyataan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyebut sistem direct license sebagai praktik yang tidak sesuai dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Dharma Oratmangun selaku Ketua LMKN menyatakan praktik penghimpunan royalti oleh pihak yang tidak memiliki izin dari Kementerian Hukum dan HAM dapat dipidanakan.
“Jika tidak ada izin operasional dari Kementerian Hukum dan HAM, dilarang melakukan penarikan royalti kepada pengguna komersial,” kata Dharma Oratmangun di Kantor LMKN, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Januari.
“Ada di Undang-Undang, sikap LMKN berdasarkan Undang-Undang. Oleh karena itu, yang tidak memiliki izin dan lain sebagainya itu bisa dituntut pidana dan denda,” lanjutnya.
Adapun, AKSI melalui akun Instagram resmi menilai direct license yang mereka terapkan tidak diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai praktik yang salah.
“Direct license adalah sistem lisensi pembayaran royalti langsung antara pencipta dan pengguna karya cipta. Hal ini tidak diatur di dalam UU Hak Cipta sehingga menurut kami, direct license tidak melanggar UU, malah ini menjadi solusi untuk mengatasi kelemahan LMKN dalam mengumpulkan royalti live performing,” bunyi pernyataan AKSI.
“Dalam hal ini kami nyatakan Direct License adalah sistem lisensi dan pembayaran royalti yang dilakukan secara PRIBADI antara pencipta lagu dan pengguna karya cipta. Karena direct license adalah suatu sistem dan bukan lembaga, maka ini menurut kami TIDAK MENYALAHI UU Hak Cipta,” lanjutnya.
Menurut AKSI, berdasarkan Pasal 87 ayat 1 UUHC, penulis lagu tidak diwajibkan untuk menjadi anggota LMK untuk mendapat royalti performing rights.
Baca juga:
“Pasal 87 ayat 1 UU Hak Cipta tentang LMK menyatakan ‘Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial,’,” bunyi pernyataan AKSI.“Kalau dicermati pernyataan pasal 87 ayat 1 UUHC tentang LMK, untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, tidak ada kata WAJIB untuk menjadi anggota LMK, sehingga menurut kami apabila ada pencipta yang mendapatkan sumber royalti dari sistem direct license dan mendapatkan hak ekonomi dari sistem ini maka ini SAH SAJA dan tidak melanggar UU.”
Asosiasi yang diketuai Piyu Padi itu juga menyoroti Pasal 119 UUHC. Mereka menilai pelarangan hanya berlaku untuk LMK yang tidak mengantongi izin, dan bukan pencipta lagu.
“Pasal 119 UUHC hanya berlaku buat LMK yang tanpa ijin tapi melakukan penarikan Royalti, tidak berlaku bagi Pencipta (sang pemilik kekayaan intelektual) jika menerima atau menarik atas penggunaan lagunya secara komersil. Jadi pernyataan LMKN itu TIDAK BENAR,” kata AKSI.
“Teman-teman Pencipta lagu jangan takut dengan pernyataan LMKN yang salah. Masa sebagai pemilik hak kita didenda 1 milliar ketika meminta hak? Direct License adalah sistem terbaik untuk mengatasi kinerja LMK dan LMKN yang tidak baik dalam menarik royalti performing dari live performance.”