Menilik Fenomena Lansia Sebatang Kara di Akhir Hayat, Pertanda Kehidupan Sosial Kita Tambah Parah

JAKARTA – Meninggal dunia dalam kesendirian adalah hal memilukan bagi warga lanjut usia atau lansia. Namun hal ini belakangan cukup sering terjadi di masyarakat. Menurut sosiolog, ini adalah alarm bagi kehidupan sosial kita.

Seorang lansia dengan inisial CW, 74 tahun, ditemukan meninggal dunia dalam keadaan membengkak di rumahnya di Jalan Singgalang, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024).

"Korban tinggal sendirian dan saat saksi AZ yang merupakan saudaranya akan masuk ke dalam rumah, tidak ada jawaban," kata Kapolsek Cimanggis Kompol Judika Sinaga saat dihubungi, Minggu (14/1/2024).

Nasib serupa juga dialami seorang dokter berinisial Z (65). Ia ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa di rumahnya daerah Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, pada 11 Januari lalu.

Dokter memeriksa kesehatan warga lansia saat di Stasiun Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (7/3/2023). (Antara/Seno/YU)

Kapolsek Ciputat Timur Kompol Kemas Arifin mengatakan jasad korban ditemukan dalam keadaan membusuk. Dijelaskan Arifin, korban tinggal seorang diri di rumah milik kakaknya yang tidak terurus. Ketua RT setempat mengaku terakhir kali melihat korban sekitar dua bulan lalu dan tengah mengalami depresi.

Sepanjang tahun lalu, ada empat kasus kematian dalam sunyi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya terekspos publik. Dan tahun ini, ketika bulan pertama belum benar-benar berakhir, sudah ada dua kasus serupa dalam waktu berdekatan.

Terpinggirkan Secara Sosial 

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau proses penuaan.

Secara sosiologis, lansia merupakan kelompok yang tidak lagi produktif dan terpinggirkan secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Hal ini membuat mereka tidak memiliki kesempatan atau ruang untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan banyaknya lansia yang meninggal dalam sunyi merupakan bukti negara yang belum punya peran terhadap mereka.

“Negara dalam hal ini adalah pemerintah, itu belum punya peran atau hadir untuk terlibat melakukan intervensi terhadap kelompok lansia,” kata Rakhmat, mengutip Kompas.

Panti jompo sering dijadikan pilihan terakhir warga lansia yang tinggal sendiri atau tidak diurus keluarga, untuk menghabiskan masa tua. (MNC)

Ia menilai pemerintah tidak memiliki political will atau komitmen untuk menempatkan atau memberdayakan para lansia demi mengangkat sosial dan ekonomi mereka.

“Jadi, selama ini, negara tidak mengurusi soal itu. Misalnya hanya, ya fakir miskin dan anak-anak telantar kemudian dipelihara sama negara. Tapi, lansia enggak,” ucap Rakhmat.

Kebijakan pemerintah Taiwan dalam membedayakan lansia yang sudah berusia 70 tahun hingga 90 tahun menurut Rakhmat perlu ditiru pemerintah Indonesia supaya para lansia memiliki kehidupan yang lebih baik di usia senjanya.

Selain itu kasus kematian lansia yang tidak diketahui ini juga disebabkan karena masyarakat sekitar tidak peduli dengan keberadaannya. Tak sedikit orang yang tidak acuh dengan lansia yang tinggal sendirian di sekitar mereka.

Menurut Rakhmat, ini bisa menjadi problem yang terus terjadi di kemudian hari. Kematian akan semakin meningkat dari kalangan lansia, karena selain negara tidak terlibat, masyarakat juga tidak peduli. Rakhmat meramalkan ini akan menjadi masalah tersendiri di kemudian hari.

Masyarakat Tidak Guyub

Sementara itu, pengamat sosiologi sekaligus Ketua Departemen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, tren kematian lansia merupakan peristiwa publik yang harus segera menjadi perhatian serius semua pihak. Menurut Ubedilah, ini bukan lagi persoalan privat tapi menjadi persoalan publik.

Dikatakan Ubedilah, fenomena kematian dalam sunyi menunjukkan suatu kompleksitas problem individu sekaligus problem sosial yang harus ditangani serius.

“Siatuasi masyarakat yang seperti itu secara sosiologis adalah tanda bahaya kehidupan sosial bangsa kita yang patut kita pecahkan penyebabnya,” Ubedilah menjelaskan.

Setidaknya ada dua faktor utama kematian dalam sunyi masih terjadi, yaitu internal dan eksternal. Dari faktor internal biasanya dipicu oleh individu yang sedang sakit dan tidak ingin diketahui orang lain atau karena depresi.

Masyarakat yang hidup asosial dinlai berbahaya karena tidak peduli dengan lingkungan sekitar, termasuk keberadaan lansia. (Unsplash/Sven Mieke)

Selain itu, fenomena ini juga bisa terjadi karena dirinya tidak memiliki kesadaran atau kemampuan bersosialisasi dengan orang lain. Karena tak bisa ditampik bahwa sebagian orang merasa lebih nyaman dengan kesendiriannya.

Sementara dari faktor eksternal dikatakan Ubedilah bisa terjadi karena tekanan kehidupan sosial ekonomi yang sangat berat sehingga membuat seseorang mengalami depresi dan memilih jalan menyerah dengan menutup diri dari kehidupan sosial. Ini menjadi lebih berbahaya saat masyarakat sekitarnya juga hidup asosial.

Peristiwa seperti ini, menurut Ubedilah akan terus berulang pada masyarakat yang individualistik atau tidak guyub, tidak saling peduli, tidak saling mengenal secara dekat satu sama lain. Kondisi seperti ini banyak ditemukan di kota-kota besar, karena umumnya masyarakat disibukkan dengan kehidupan masing-masing seperti bekerja untuk memenuhi kebutuhan. 

Dalam hal ini dikatakan Ubedilah karena masyarakat memandang rumah atau tempat tinggal hanya dijadikan sebatas tempat tidur setelah seharian mengais rezeki di tengah tuntutan sosial ekonomi yang berat.

Jumlah lansia diprediksi akan terus meningkat. Data pada 2021 menunjukkan 1 dari 10 orang di seluruh dunia telah berusia 65 tahun. Sementara pada 2050, jumlahnya diprediksi meningkat menjadi 1 dari 6 orang telah berusia 65 tahun.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nunung Nuryanto, kondisi ini akan berimplikasi panjang baik terhadap kebijakan, strategi, dan upaya-upaya agar seluruh penduduk berusia 65 tahun masih tetap produktif.

Menurut Nunung, secara global bayi yang lahir pada 2022 diperkirakan akan memiliki rata-rata usia hingga 71,7 tahun karena dukungan gizi dan akses kesehatan yang semakin baik. Angka ini 25 tahun lebih lama dibandingkan kelahiran tahun 1950-an.