Kampanye Melalui TikTok vs Bagi-bagi Bansos, Mana Lebih Unggul?
JAKARTA – Periode kampanye hanya menyisakan waktu tinggal 1,5 bulan lalu. Kampanye tatap muka maupun melalui daring gencar dilakukan tiga calon presiden dan wakil presiden demi menarik hati pemilih.
Capres nomor satu Anies Baswedan misalnya, baru-baru ini menggelar siaran langsung atau live melalui TikTok untuk menyapa para pengguna platform tersebut. Di sisi lain, Prabowo Subianto sempat bagi-bagi sembako dalam acara jalan sehat yang digelar di Jatiragas Hilir, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang pada November 2023.
Dengan 56 persen pemilih di Pilpres 2024 adalah generasi Z (Gen Z) dan milenial, maka memanfaatkan media sosial diklaim sebagai salah satu cara untuk mengeruk suara anak muda. Ini diperkuat dengan data Reportal di tahun 2023 bahwa terdapat total 167 juta pengguna media sosial, di mana 153 juta adalah pengguna di atas usia 18 tahun, yang merupakan 79,5 persen dari total populasi.
Artinya, kampanye kontemporer dengan memanfaatkan media sosial seperti yang dilakukan Anies dengan menggelar live di TikTok cukup potensial untuk menarik perhatian Gen Z.
Akses Internet Tidak Merata
Juru bicara AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) Indra Charismadji mengatakan ada sekitar 300 ribuan yang menyaksikan live TikTok Anies Baswedan di hari pertama. Angka tersebut diklaim Indra naik menjadi 400 ribu penonton.
Momen Anies Baswedan live di TikTok mengundang banyak pujian, Indra bahkan mengaku momen tersebut menunjukkan Capres nomor urut satu tersebut sebagai sosok yang rendah hati dan dekat dengan semua kalangan. Seusai menggelar live di TikTok, Anies mendapat julukan abah online. Tidak hanya itu, pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga membuat akun @aniesbubble di platform X, sebagai wujud dukungan para pecinta K-Pop di Tanah Air untuk Anies.
Apa yang dikatakan Indra ada benarnya. Bahwa generasi muda sekarang sebagian besar adalah pemilih pemula yang memang sangat dekat dengan dunia maya. Berdasarkan hasil survei APJII, mayoritas atau 63,74 persen masyarakat Indonesia mengakses internet selama 1-5 jam sehari pada 2022-2023, sementara laporan We are Social mengatakan bahwa rata-rata pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu selama 3 jam 23 menit.
Meski dinilai memiliki potensi yang besar, kampanye dengan memanfaatkan media sosial bukannya tanpa rintangan. Di kota-kota besar, media sosial tentu bukan hal asing bagi masyarakatnya. Lain soal dengan masyarakat di kota lainnya, yang kesulitan mengakses media sosial.
Mulai dari akses internet yang belum merata, sampai kesulitan finansial dan rendahnya tingkat pendidikan sehingga membuat kampanye di medsos menjadi kurang efektif.
Karena alasan itulah, masih banyak anggapan bahwa cara paling jitu untuk menarik suara rakyat adalah kampanye tatap muka langsung antara Capres dan masyarakat. Menurut pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, kampanye tatap muka langsung, apalagi disertai pembagian ‘buah tangan’ seperti misalnya sembako atau uang dinilai lebih efektif mengeruk suara rakyat ketimbang kampanye kekinian melalui medsos.
“Faktanya memang begitu. Lebih efektif kampanye tatap muka langsung dengan masyarakat apalagi disertai bagi-bagi barang atau uang. Model kampanye ini menurut studi lebih disukai masyarakat. Cara ini lebih efektif untuk menarik suara,” kata Karyono saat diihubungi Voi.
Pendapat senada juga dituturkan Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno. Ia mengatakan, kampanye kekinian dengan memanfaatkan media sosial hanya sebagai ajang sosialisasi atau memperkenalkan diri Capres maupun Cawapres. Adi menjelaskan bahwa ‘serangan darat’ merupakan cara kampanye yang paling digemari masyarakat.
“Selain sering berkunjung kepada publik, publik juga berharap sentuhan-sentuhan bantuan sosial, hal-hal yang cash and carry, yang semacam ini sangat dinanti,” tegas Adi.
Politik Uang adalah Pembodohan
Dihubungi terpisah, analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad menegaskan, penggunaan TikTok maupun media sosial lainnya tidak begitu efektif dalam mengeruk suara anak muda. Menurutnya, program serta gagasan yang dikemukakan para kandidat yang bertarung tetap menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan, termasuk bagi kamun Gen Z dan milenial.
"Yang dibutuhkan anak muda hari ini adalah akan kepastian masa depan mereka," ucap Andriadi.
Kampanye konvensional dengan membagikan sembako, uang, atau hal lainnya sudah terjadi di hampir setiap Pemilu di Indonesia. Meski masih menjadi model kampanye favorit, Karyono Wibowo mengingatkan bahwa kampanye dengan bagi-bagi sembako maupun uang tidak mendidik. Politik uang hanya akan memperbesar peluang buying vote atau membeli suara rakyat.
Maka dari itu, ia mengharapkan pemilih lebih cerdas menyikapi fenomena ini demi menghindari adanya demokrasi transaksional. Dengan meningkatnya pemilih cerdas, maka menentukan pilihan hanya akan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, karena membagikan buah tangan saat kampanye adalah bentuk pembodohan. Ironisnya, pembodohan ini dilakukan oleh elite itu sendiri.
Baca juga:
“Dalam menentukan pilihan, pemilih cerdas bukan lagi atas dasar pertimbangan sembako, uang, atau bukan hanya karena ada kesamaan latar belakang. Tapi ada pertimbangan rasional yang mengutamakan rekam jejak, kompetensi, kapabilitas, pengalaman, serta track record para kandidat,” jelas Karyono.
“Masalahnya, yang melakukan pembodohan adalah elite itu sendiri, yang dilakukan kontestan dengan bagi-bagi uang, makan siang, atau susu gratis. Siapa pun, termasuk calon-calon regislatif, calon kepala daerah, membeli suara rakyat dengan bagi-bagi uang atau barang adalah proses pembohongan,” kata Karyono memungkasi.