Portugal Menyerahkan Makau kepada China dalam Memori Hari Ini, 20 Desember 1999

JAKARTA – Memori hari ini, 24 tahun yang lalu, 20 Desember 1999, pemerintah Portugal menyerahkan kedaulatan Makau kepada Republik Rakyat China. Penyerahan itu dilanggengkan karena perubahan kebijakan luar negeri Portugal. Negara itu ingin mengakhiri jejak kolonialisasi mereka.

Sebelumnya, Portugal memperoleh izin dari Kekaisaran China untuk membangun pemukiman di Makau. Izin tersebut diberikan karena kehadiran Portugal membuat kas China gemuk.

Orang Portugis (nama bangsa dari negara Portugal) kerap kepincut membangun pos dagang di Asia. Keinginan itu dilanggengkan karena perdagangan rempah di Asia mampu bawa untung bejibun. Keinginan itu kadang kala diwujudkan dengan siasat paksa: perang.

Segala macam suku bangsa coba diperanginya. Namun, ajian itu tak digunakan kala orang Portugis menginginkan Makau jadi pos dagang. Leonel de Sousa yang kelak jadi Kapten-Mayor Kedua Makau memilih berdamai dengan China. Portugis pun melanggengkan kesepakatan damai dengan pejabat Guangzhou.

Reruntuhan Gereja Santo Paulus, ikon Makau yang diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia. (Wikimedia Commons)

Hasilnya memuaskan. Orang Portugis diberikan izin untuk membangun pos dagang di Makau pada 1553 dan mulai menetap pada 1557. Sekalipun Portugis harus membayar upeti tiap bulannya kepada China. Kehidupan perdagangan di Makau membuat Portugis untung besar.

Ragam suku bangsa di dunia mulai berdatangan ke Makau. Mereka datang untuk mencari kerja dan berdagang. Komposisi penduduk berasal dari Portugis dan China yang paling banyak. China pun menyambutnya dengan gegap gempita.

Penguasa Negeri Tirai Bambu dapat menarik pajak dari penduduk Portugis yang berdiam di Makau. Keuntungan Portugis atas Makau kian paripurna pada 1887. Kala itu Portugis mulai mendapatkan hak koloni secara permanen dari China.

Narasi itu tertuang dalam Traktat China-Portugis di Peking. Andil Makau sebagai negeri koloni kian menguntungkan Portugis. Makau mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi kepada Portugis.

Orang-orang China berjudi di rumah judi Fan Tan, Makau pada masa kolonial Portugis. (Wikimedia Commons)

“Sejak saat itu, Makau menjadi titik awal pelayaran Portugis ke Jepang. Harus diakui bahwa orang Portugis tidak menaklukkan pulau Makau, tetapi memperoleh hak untuk menetap di sana melalui persetujuan dengan para pejabat China.”

“Dengan kata lain, Makau tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Portugal; Itu semacam koloni pribadi. Penduduk Makau sebagian besar terdiri dari orang Portugis dan China. Pulau itu sebenarnya adalah milik kaisar China yang melantik para pejabatnya di sana untuk mengumpulkan pajak dari para pemukim Portugis,” terang Sejarawan, Leonard de Blusse dalam buku Around and About Formosa (2020).

Eksistensi Makau jadi ladang keuntungan orang Portugis berlangsung lama. Bahkan, tiada yang menebak negeri Portugal bakal angkat kaki dari Makau. Semuanya baru berubah kala pergantian rezim pemerintahan Portugal yang berlangsung pada 1974.

Pergantian rezim itu membuat arah kebijakan politik luar negeri Portugal berubah. Segala hal yang berbau kolonialisasi mulai ditinggalkan Portugal. Negeri itu bahkan mulai merundingkan penyerahan kedaulatan Makau kepada China. Perundingan pun dilanggengkan dari tahun ke tahun. Alhasil, Portugal baru menyerahkan kedaulatan Makau yang notabene negeri koloninya ke China pada 20 Desember 1999.

“Lima tahun yang lalu, ketika Portugal menyerahkan Makau kepada China, kebanyakan orang memperkirakan bahwa bahasa Portugal akan hilang dalam sekejap mata. Negeri Portugal tidak dapat berbuat banyak untuk mempromosikan bahasa mereka di sini, sejak pedagang mereka pertama kali mendarat sekitar tahun 1553.”

“Saat mereka pergi, hanya sekitar dua persen dari 450 ribu penduduk Makau yang berbicara bahasa Portugal, dan 98 persen lainnya berbicara bahasa Kanton dan bahasa lainnya. Namun secara mengejutkan, pendaftaran untuk kelas privat bahasa Portugal meningkat tiga kali lipat, menjadi 1.000, sejak tahun 2002,” ujar James Brooke dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul China Sees Advantages in Macao's Portuguese Past (2004).