Perlu Belajar dari Jurgen Klopp yang Tidak Berkomentar di Luar Kompetensinya
JAKARTA - Pelatih Liverpool FC Jurgen Klopp dinilai positif setelah menolak berkomentar soal penyebaran virus COVID-19 terutama pengaruhnya bagi klub yang dilatihnya. Apa yang dilakukan Klopp ini tampaknya berbalik dengan para pejabat di negeri ini.
Dalam sebuah video yang diunggah oleh akun Twitter @ndorokakung, pelatih berkebangsaan Jerman ini menolak berkomentar saat ada seorang jurnalis yang bertanya apakah virus COVID-19 berpengaruh pada klubnya. Menurut Klopp dia tak mau menjawab hal tersebut karena tak punya kapasitas.
Selain itu, dia meyakini tak semua publik figur seperti dirinya bisa menjawab sesuatu yang ilmunya saja tak mereka mengerti.
"Bukan manajer sepak bola seperti saya (untuk bicara). Saya tidak paham. Politik, virus korona, kenapa harus saya (yang memberi pernyataan)," kata Klopp dalam tayangan yang ditonton VOI pada Kamis, 5 Maret.
Tanggapan Klopp ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pejabat ataupun publik figur di Indonesia. Di Indonesia, ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus pertama penyebaran COVID-19, maka sejumlah pejabat hingga publik figur berlomba-lomba membuat pernyataan.
Contohnya, Gubernur Anies Baswedan yang menyatakan masyarakat Jakarta jangan datang ke tempat yang menjadi awal penyebaran COVID-19 dan menyetop izin keramaian. Pernyataan Anies tersebut malah disanggah oleh juru bicara untuk penangan COVID-19, Achmad Yurianto.
"Soal daerah rawan corona, di Jakarta itu tidak ada. Kami tidak ada daftar daerah rawan corona," ujarnya di Kantor Kemenkes, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Maret.
Yuri mengatakan, penularan virus ini pada dasarnya bukan berasal dari tempat melainkan dari orang ke orang. Sehingga, tak ada alasan bagi Kemenkes untuk membuat daftar wilayah rawan COVID-19 di Jakarta.
"Corona ini tidak jalan sendiri. Dia ada di tubuh orang. Jadi daerah rawan corona itu sebetulnya di RSPI Sulianti Saroso. Makanya jangan keluyuran ke sana," tegasnya.
Selain Anies, ada juga Plt Bupati Cianjur Herman Suherman yang dalam sebuah video menyatakan seorang warganya mengidap COVID-19. Parahnya, dia bahkan mengungkap data pribadi pasien hingga akhirnya dianggap menyalahi kode etik.
Baca juga:
Bahkan, ketika pasien itu meninggal, masyarakat langsung berasumsi pria yang baru pulang dari Malaysia ini meninggal karena virus tersebut. Padahal setelah diteliti oleh Kemenkes, tak ada satu pun spesimen dari Cianjur, Jawa Barat yang positif terjangkit virus COVID-19.
Berkaca dari blundernya sejumlah ucapan pejabat kita, mungkin sudah saatnya untuk belajar menyetop pernyataan mereka ketika merasa itu bukan kapasitasnya. Namun, tampaknya hal ini sulit dilakukan. Sebab, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai pejabat publik yang mau berkomentar soal apa saja biasanya sedang mencari panggung karena sedang ada momentum untuk tampil.
"Setiap pejabat kan butuh momentum untuk bisa tampil tebar pesona ingin pencitraan di depan publik dan dapat perhatian," katanya ketika dihubungi VOI, Kamis, 5 Maret.
Sementara analis kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai, memang setiap pejabat politik atau publik figur harus menjaga pernyataannya agar tidak terjadi kesalahan penyampaian informasi.
"Ada yang namanya public responsibility, jadi pejabat itu tidak boleh bicara yang diluar kewenangannya," ujar Trubus.
Menurut dia, sebaiknya segala informasi terkait penyebaran virus ini dilakukan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan juru bicara untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.
Dia juga mendorong Jokowi segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) agar hanya lembaga berwenang yang berkomentar. "Jadi kalau orang enggak punya kapasitas enggak boleh ngomong dong," tegasnya.
"Tapi kalau dampak corona pada ekonomi, ya boleh, kementerian terkait bicara. Masalahnya kan saat ini semuanya ngomong soal corona. Jadi jelas pembagiannya," imbuh Trubus.
Selain pejabat publik harus menahan diri, Trubus juga mengingatkan agar media mulai memilah narasumber yang akan mereka wawancarai terkait COVID-19. Harusnya, media bisa mencari narasumber yang memang kompeten di bidangnya.
"Kalau pejabat, deputi, orang partai mana itu sebenarnya enggak perlu jika tidak terkait. Anggota DPR RI juga begitu, kecuali memang anggota Komisi IX (yang membidangi kesehatan), itu boleh dimintai komentarnya karena memang kapasitasnya," ungkap dia.
Alasannya, jika media sembarang memilih narasumber dan pejabat publik sembarangan bicara maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan di tengah masyarakat dan menimbulkan kepanikan Selain itu, potensi kesalahan informasi juga bisa terjadi ketika pejabat yang tak berkompeten menyampaikan pendapatnya.