Prakerja Dinilai sebagai Wujud Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
JAKARTA - Program Kartu Prakerja yang digagas Presiden Joko Widodo terbukti memberikan dampak yang signifikan kepada para alumninya. Keberhasilan itu diakui di level internasional sehingga banyak negara sahabat yang belajar ke Prakerja. Sosok di balik kinerja itu adalah Denni Puspa Purbasari, Direktur Eksekutif Prakerja.
Denni menceritakan pengalamannya selama sekitar empat tahun ini berkecimpung di balik Prakerja. Berkeliling hampir seluruh wilayah Indonesia, mantan Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) itu selalu terkesan ketika mendengar kisah dari para lulusan Prakerja yang hidupnya kini menjadi lebih baik.
Hal itu sejalan dengan Visi Indonesia Emas yang bertujuan menjadikan Indonesia negara maju pada 2045. Seluruh daya dukung yang dimiliki bangsa pun dikerahkan dalam rangka mendorong tercapainya cita-cita tersebut, yang salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terlebih dengan bonus demografi, pembangunan akan bergerak lebih cepat.
Denni Puspa Purbasari saat berbincang dengan Antara di kantornya di bilangan Jakarta Pusat, dikutip Minggu 17 Desember, mengatakan, saat Prakerja diinisiasi, pandemi COVID-19 belum terjadi. Program ini dibentuk karena kita menyadari bahwa kebutuhan upskilling dan reskilling itu luar biasa besar, terlebih karena adanya digital disruption.
“Angkatan kerja kita berjumlah sekitar 50 juta orang dari Sabang sampai Merauke, tidak hanya Jawa. Kami berpikir bagaimana masyarakat berkesempatan mengambil pelatihan-pelatihan praktis yang membuat mereka menjadi relevan, bertahan, dan kompetitif, baik pindah pekerjaan atau bahkan naik kelas,” jelasnya.
Apalagi, kata Denni, Prakerja itu bukan (cuma) untuk penganggur tapi juga untuk mereka yang sudah bekerja namun ingin naik kelas atau ganti pekerjaan yang lebih baik. Penganggur di RI, kata dia, hanya 5 persen dari angkatan kerja, sedangkan 95 persen sisanya sudah bekerja.
“Masalahnya adalah para pekerja itu hanya memiliki pendapatan rata-rata sebesar Rp3,19 juta per bulan. Itu masih cukup rendah, kita harus gas terus. Kita berupaya menaikkan itu melalui peningkatan skill dan produktivitas,” tuturnya.
Lebih lanjut Denni mengatakan, pihaknya berupaya meng-upskilling secara massal dengan skala dan diversity yang besar di Indonesia. Karena itu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja dirancang.
“Dalam regulasi tersebut sudah forward looking; menyadari Indonesia kita yang luas dan ribuan pulau. Disebutkan juga bahwa pelatihan tidak hanya akan secara offline melainkan juga online. Kalau kita hanya bersandar pada pelatihan offline maka orang-orang kepulauan harus pergi ke kota-kota provinsi mendapatkan lembaga kursus yang bagus,” jelas dia.
“Bagaimana dengan saudara-saudara kita di Kabupaten Seram Bagian Barat harus ke Ambon meninggalkan keluarganya, ternak mereka, pekerjaan mereka, membayar transportasi serta living cost seminggu sampai dua minggu untuk mengikuti pelatihan offline. Itu sangat mahal, uang negara tentu tidak kuat,” imbuhnya.
Belum lagi permasalahan terkait bagaimana kualitas instruktur dan lembaga pelatih yang ada di Ambon, sebagus apa, serelevan apa. Padahal, lanjut Denni, pihaknya ingin agar mereka mampu lompat yang jauh, anak Seram Bagian Barat langsung mendapat instruktur dari Jakarta.
“Bahkan waktu saya berkunjung ke Kabupaten Biak, ada seorang anak yang mengaku bahwa mereka bangga dengan Prakerja karena dia bisa belajar bersama sama anak Jawa dengan instruktur yang sama. Seringkali mereka merasa diberi kesempatan yang paling belakang,” kata dia.
“Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu benar-benar ada di Prakerja,” imbuh Denni.
Denni menjelaskan, Perpres Nomor 36 Tahun 2020 soal Prakerja sudah dirancang sejak November 2019. Payung hukum ini juga sudah menyebut pelaksanaan pelatihan secara online dan offline.
“Namun Perpres kita rilis pada Februari 2020 saat pandemi COVID-19 menyerang. Ini menyebabkan pelaksanaan secara offline tidak bisa kita eksekusi demi keamanan kesehatan masyarakat. Begitu online, ini suatu hal yang completely baru untuk market Indonesia,” jelasnya.
Dirinya pun mengaku tidak tahu kesiapan dari lembaga-lembaga pelatihan untuk convert secepat-cepatnya dari offline menjadi online. Education technology waktu itu masih terlalu sedikit di Indonesia, berbeda dengan sekarang yang sudah semakin berkembang.
Baca juga:
“Waktu itu karena pelatihan beralih online sehingga lebih murah, kemudian kita bisa merealokasi anggaran menjadi insentif bagi masyarakat. Presiden Joko Widodo meminta Prakerja berperan semi bantuan sosial (bansos). Adaptability dari sebuah program sosial is very important. Itu justru karakteristik program yang baik. Bahkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) menyatakan Prakerja merupakan program yang bagus karena terbukti menjaga stabilitas di tengah krisis. Dia bisa fleksibel dan disesuaikan dengan konteks ekonomi yang ada,” paparnya.
Terlebih, COVID-19 menyerang tidak hanya orang miskin namun juga kelas menengah atau rentan miskin yang mereka tidak tercatat di penerima bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan sebagainya.
Berangkat dari situ, Prakerja menjadi sarana pelatihan menaikkan skill namun juga sekaligus sebagai bansos karena peserta akan mendapat insentif sebesar sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan. Itupun setelah mereka menuntaskan pelatihannya.
“Dari insentif tersebut, masyarakat bisa membeli kebutuhan pokok, membayar listrik, membayar air, membeli bensin, hingga membuka usaha menopang kehidupan di tengah krisis pandemi COVID-19,” kata Denni.