Amnesty International Sebut Bom Pintar Buatan AS yang Dipakai Militer Israel Tewaskan 43 Warga Sipil di Jalur Gaza

JAKARTA - Amnesty International pada Hari Selasa mengumumkan dalam unggahannya, bom pintar buatan Amerika Serikat yang digunakan oleh Israel di Jalur Gaza menewaskan puluhan warga sipil.

Militer Israel menggunakan Joint Direct Attack Munition (JDAM), bom berpemandu GPS dengan laser buatan, dalam dua serangan udara yang mematikan dan melanggar hukum terhadap rumah-rumah yang dipenuhi warga sipil di Jalur Gaza, kata Amnesty International.

Itu dikatakan merupakan serangan langsung terhadap warga sipil atau objek sipil atau serangan acak, menyerukan agar serangan tersebut diselidiki sebagai kejahatan perang.

Organisasi tersebut menemukan pecahan amunisi di reruntuhan rumah yang hancur di Gaza tengah, setelah dua serangan udara yang menewaskan total 43 warga sipil yang terdiri dari 19 anak-anak, 14 wanita dan 10 pria, dengan para penyintas mengatakan tidak ada peringatan akan terjadinya serangan.

Serangan yang dimaksud pertama terjadi terhadap rumah keluarga al-Najjar di Deir al-Balah pada 10 Oktober yang menewaskan 24 orang, kata Amnesty.

Pada tanggal 22 Oktober, serangan udara terhadap rumah keluarga Abu Mu’eileq di kota yang sama menewaskan 19 orang. Kedua rumah tersebut berada di selatan Wadi Gaza.

"Fakta bahwa amunisi buatan AS digunakan oleh militer Israel dalam serangan yang melanggar hukum dengan konsekuensi mematikan bagi warga sipil harus menjadi peringatan mendesak bagi Pemerintahan Biden. Senjata buatan AS memfasilitasi pembunuhan massal terhadap keluarga besar," terang Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard, melansir situs badan tersebut 6 Desember.

Ilustrasi bom pintar AS JDAM. (Wikimedia Commons/U.S Navy/Photographer's Mate 3rd Class Michael S. Kelly)

“Dua keluarga telah hancur dalam serangan ini, bukti lebih lanjut militer Israel bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum dan melukai warga sipil dalam pemboman di Gaza," terangnya.

"Dalam menghadapi angka kematian warga sipil dan skala kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di Gaza, AS dan pemerintah lainnya harus segera menghentikan pengiriman senjata ke Israel yang kemungkinan besar akan digunakan untuk melakukan atau meningkatkan risiko pelanggaran hukum internasional," urainya.

"Dengan sengaja membantu pelanggaran adalah bertentangan dengan kewajiban untuk memastikan penghormatan terhadap hukum humaniter internasional. Sebuah negara yang terus memasok senjata yang digunakan untuk melakukan pelanggaran dapat ikut bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut," tandasnya.

Mengingat adanya bukti kejahatan perang dan pelanggaran lainnya, lanjutnya, AS harus menaati undang-undang dan kebijakannya sendiri mengenai transfer dan penjualan senjata, termasuk Kebijakan Transfer Senjata Konvensional dan Panduan Respons Insiden Kerusakan Sipil, yang secara keseluruhan dimaksudkan untuk mencegah transfer senjata yang berisiko memfasilitasi atau berkontribusi terhadap kerugian sipil dan pelanggaran hak asasi manusia atau hukum humaniter internasional.

Ditambahkan, Amnesty International tidak menemukan indikasi apa pun, terdapat sasaran militer di lokasi kedua serangan tersebut atau orang-orang yang berada di dalam gedung tersebut merupakan sasaran militer yang sah, sehingga meningkatkan kekhawatiran itu merupakan serangan langsung terhadap warga sipil.

"Selain itu, bahkan jika serangan tersebut yang dikatakan telah diinformasikan oleh Israel, dimaksudkan untuk menargetkan sasaran militer, penggunaan senjata peledak dengan dampak luas di wilayah padat penduduk dapat menjadikan serangan ini tidak pandang bulu. Oleh karena itu, serangan-serangan ini harus diselidiki sebagai kejahatan perang," tandasnya.

Diketahui, oara ahli senjata dan analis penginderaan jarak jauh Amnesty International memeriksa citra satelit, serta foto-foto yang diambil oleh pekerja lapangan organisasi tersebut mengenai penghancuran lokasi yang menjadi sasaran dan pecahan persenjataan yang ditemukan dari reruntuhan.

Hasilnya berdasarkan kerusakan, bom yang menghantam rumah keluarga al-Najjar kemungkinan berbobot 2.000 pon. Sedangkan bom yang menghancurkan rumah keluarga Abu Mu’eileq kemungkinan beratnya setidaknya 1.000 pon.

Dalam kedua serangan tersebut, bom tersebut menggunakan peralatan JDAM buatan AS. Foto-foto pecahan logam dari senjata tersebut dengan jelas menunjukkan paku keling dan sistem pengaman yang khas yang menunjukkan bahwa mereka berfungsi sebagai bagian dari bingkai yang mengelilingi badan bom JDAM.

Selain itu, kode yang tertera pada pelat dari kedua set potongan yang ditemukan, 70P862352, dikaitkan dengan JDAM dan Boeing, produsennya. Kode tambahan yang tertera pada pelat menunjukkan bahwa JDAM yang membunuh anggota keluarga al-Najjar diproduksi pada tahun 2017, sedangkan JDAM yang membunuh anggota keluarga Abu Mu’eileq diproduksi pada tahun 2018.