Jokowi Teriak Hentikan Kasus Korupsi e-KTP ke Agus Rahardjo, Pukat UGM Anggap Presiden Halangi Penyidikan
JAKARTA - Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan tak ada satupun yang bisa minta penegak hukum menghentikan pengusutan tindak pidana. Langkah semacam ini sebenarnya bentuk menghalangi jalannya penyidikan atau obstruction of justice.
Hal ini disampaikan Zaenur menanggapi pernyataan eks Ketua KPK Agus Rahardjo yang pernah dimarahi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta. Ia diteriaki untuk menghentikan pengusutan dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang melibatkan eks Ketua DPR RI Setya Novanto.
“Tidak ada sat upun pihak ataupun pejabat yang berwenang untuk meminta penghentian perkara,” kata Zaenur kepada wartawan, Sabtu, 2 Desember.
“Jika ada pihak yang meminta penghentian perkara bahkan diikuti dengan tindakan, perbuatan yang dapat mengganggu jalannya penyidikan itu bisa masuk kategori obstruction of Justice sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor atau biasa disebut sebagai merintangi penyidikan,” sambungnya.
Zaenur juga menyebut perbuatan Jokowi tak lazim. Sebab, dia mengintervensi komisi antirasuah yang ketika itu tindak tunduk pada kekuasaan manapun karena undang-undangnya belum direvisi.
Diketahui, UU KPK Nomor 30 Tahun 2012 menyebut komisi antirasuah sebagai lembaga independen. Sementara setelah direvisi menjadi UU KPK 19 Tahun 2019, KPK masuk di bawah rumpun eksekutif.
“Jadi itu merupakan bentuk intervensi. ketika kekuasaan mengintervensi KPK maka itu juga merupakan bentuk satu penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden,” tegasnya.
Kondisi ini disebut Zaenur menjadi bukti carut marutnya upaya pemberantasan korupsi di era Presiden Jokowi. Apalagi, ada dugaan revisi perundangan KPK terjadi karena Agus Rahardjo tak menuruti perintah kepala negara.
“Hasilnya kita petik situasi Indonesia yang semakin. Tahun 2022 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia itu 34. Sama persis dengan 2014 ketika pertama kali Presiden Jokowi menjabat. Artinya selama sembilan tahun akhirnya ujung-ujungnya nol prestasi pemberantasan korupsi oleh Presiden Jokowi,” jelasnya.
Baca juga:
- Eks Ketua KPK Agus Rahardjo Ungkap Jokowi Minta Kasus Setnov Disetop, Istana: Kenyataannya Proses Hukum Berjalan
- Gimmick Gemoy Jadi Sorotan, Prabowo: Joget Tanda Gembira dalam Membela Rakyat
- Tak Hanya Firli Bahuri dan Alex Tirta, Penyidik juga Periksa Jenderal Bintang Satu di Kasus Pemerasan SYL
- Jokowi Harap Norwegia Berkontribusi Ciptakan Perdamaian di Gaza
Agus Rahardjo blak-blakan mengungkap dirinya pernah diamuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta. Belakangan diketahui dia diminta untuk menghentikan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menyeret eks Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam tayangan YouTube Kompas TV, Agus mengatakan dia tak pernah mengungkap peristiwa ini. Awalnya, Rosiana Silalahi sebagai pembawa acara bertanya ada tidaknya upaya KPK dijadikan alat kekuasaan dan Agus bercerita pernah dipanggil sendirian menghadap Jokowi saat pengusutan kasus korupsi e-KTP dilakukan.
“Waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh Presiden dan pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Saya heran biasanya memanggil berlima ini kok sendirian," kata Agus dalam tayangan yang dikutip Jumat, 1 Desember.
Kedatangannya ini pun terkesan senyap karena Agus tak lewat depan ruang wartawan. "Tapi lewat pintu dekat masjid kecil," ujarnya.
Saat masuk ke ruangan, Agus mendapati Presiden Jokowi mengamuk. "Presiden sudah marah, menginginkan, karena baru saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Saya heran apa yang dihentikan," ungkapnya.
Setelah duduk, Agus mendapat penjelasan maksud pernyataan Jokowi adalah menghentikan kasus e-KTP yang menyeret nama Setya Novanto yang menjabat sebagai Ketua DPR. Tapi, Agus mengatakan hal ini tak bisa dilakukan karena surat perintah penyidikan (sprindik) sudah dikeluarkan.
Agus mengaku dirinya tak peduli dengan amukan Presiden Jokowi. Ia tetap jalan karena ketika UU KPK belum direvisi, lembaga ini tidak berada langsung di bawah kepala negara.