Ghufron Ungkap Kerja Kolektif Kolegial Pimpinan KPK Ternyata Terganggu di Era Firli Bahuri
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengungkap sistem kolektif kolegial di antara pimpinan sempat tidak berjalan. Ke depan, upaya perbaikan bakal dilakukan karena sudah ada pembahasan di rapat.
Hal tersebut disampaikan Ghufron dalam konferensi pers setelah rapat pimpinan pada hari ini, Senin, 27 November. Katanya, ada sejumlah masalah dalam penerapan kolektif kolegial.
“Jadi kami sudah rapim, mengidentifikasi dan juga menginventarisir beberapa masalah yang mengakibatkan otoriti yang mestinya kolegial tapi terganggu karena sistem yang tak jalan. Kami sudah berkomitmen memperkuat kolegialitas,” kata Ghufron kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Melengkapi pernyataan Ghufron, Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango mengungkap model kerja di lembaganya. “Sebelumnya berlaku ada pembidangan, jadi ada wakil ketua tertentu membidangi penindakan, membidangi pencegahan. Ini akan kami evaluasi,” tegasnya.
“Jadi tidak ada lagi model yang seperti ini. Semua Wakil Ketua KPK, pimpinan bertanggung jawab terhadap bidang itu,” sambung Nawawi.
Diharapkan langkah ini tak membuat hanya satu orang saja yang bekerja seperti di era Firli Bahuri memimpin. Tak boleh ada wakil ketua komisi antirasuah yang dikecilkan perannya, ujar Nawawi.
“Tak ada alasan bagi kedeputian, kesekjenan tertentu mendegradasi kewenangan wakil ketua lain untuk masuk. Jadi ketika harus mengecek satu kedeputian, dia akan masuk. Pak Ghufron tak bisa lagi hanya jalan ke kedeputian pencegahan monitoring tapi juga berwenang masuk ke kedeputian penindakan untuk mengontrol,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Nawawi baru saja dilantik sebagai Ketua Sementara KPK oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Senin, 27 November. Dia kemudian mengumpulkan para pimpinan untuk membahas kondisi lembaga setelah Firli Bahuri diberhentikan sementara karena jadi tersangka.
Firli kekinian menjadi tersangka dugaan pemerasan atau penerimaan suap dari eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Penetapan dilakukan Polda Metro Jaya setelah dilaksanakan gelar perkara.
Baca juga:
Beberapa alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah dokumen penukaran valas senilai Rp7,4 miliar. Kemudian, ada juga hasil ekstraksi 21 ponsel.
Dalam kasus dugaan pemerasaan dan penerimaan gratifikasi, Firli disangkakan dengan Pasal 12e, 12B atau Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 65 KUHP. Firli terancam pidana penjara seumur hidup.