[POLITIK] Andi Yuliani Paris | Tentang Menangisi Anehnya Penyusunan Anggaran Kementerian
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris menangis di tengah Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Kritik soal pemborosan anggaran Kementerian ESDM terlontar bersama tangisnya. Kami berbincang dengan dia, mendalami pemikiran dan landasan kritisnya.
Kami tiba di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta Selatan di waktu Maghrib. Sesuai janji yang kami sepakati dengan Andi Yuliani Paris. Kami menuju lobby hotel setelah melewati rangkaian protokol kesehatan. Di lobby, kami kembali menghubungi Andi.
Tak lama, Andi muncul dengan batik cokelat berpola di sepanjang lengan. Sebagian wajahnya ditutupi masker N-95. Ia kemudian mengajak kami menaiki satu lantai tangga. Wawancara ini ia tanggapi serius. Andi memandu kami ke tempat yang lebih tenang. Hening.
"Sudah bisa dimulai?" celetuknya sesaat setelah meletakkan telepon genggam di atas meja berkain merah yang ia tumpangi.
Andi langsung menjelaskan soal apa yang terjadi padanya di tengah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 19 Januari lalu. Kata Andi kala itu Kementerian ESDM mengaku tak bisa membuat banyak program untuk petani dan nelayan karena pandemi.
Tak masuk akal, baginya. Di mata Andi, pandemi COVID-19 seharusnya justru momentum tepat untuk meningkatkan alat-alat produksi masyarakat. Pun jika ada masalah dalam pengadaan barang, menurut Andi hanya persoalan teknis yang harusnya dapat ditangani oleh Kementerian ESDM sebagai operator kebijakan.
“Artinya ada sesuatu yang harus diperbaiki dari republik ini, terkait dengan mekanisme penganggaran. Memang agak capek bagi DPR karena sekarang ini modelnya pemerintah buat, dibawa ke DPR, DPR hanya membahas."
Lebih lanjut Andi mendorong Kementerian ESDM mengembalikan peran studi dan rekomendasi ke Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) yang dimiliki. Litbang, kata Andi memiliki fungsi menjalankan studi dan memberi rekomendasi berdasar hasil studi itu. Dari sana, turunannya adalah kebijakan yang berdaya guna bagi masyarakat. Studi juga bisa jadi dasar pengawasan kebijakan.
“Harusnya itu pekerjaannya Litbang untuk studi dan rekomendasi. Kemudian pekerjaannya Direktorat Jenderal itu. Dia menjadi eksekutif dari pembina rekomendasi. Nah, kemudian kita harus lihat mana saja yang sudah redundant (mubazir), ya. Buktinya, dia ya sekadar, kalau studi itu ujungnya melahirkan kebijakan dan tadinya ada rentetan itu, so, it’s okay. Tapi kadang-kadang dia misalnya Dirjen Ketenagalistrikan di ESDM, ya, dia ada studi, studi itu berguna buat siapa, ya, PLN. Ya, PLN tahu enggak? Gitu, loh. Harusnya dia kan duduk bersama, studi itu dan dia judulnya, ada studi, ada kebijakan, ada permen, ada rekomendasi.”
Permainan anggaran
Dengan kata lain, apapun rekomendasi yang nantinya terbit harus jelas. Permainan anggaran yang seperti ini sering terjadi sejak dulu di banyak kementerian. Bukan tebak-tebakan. Andi menyebut pengalamannya duduk di Gedung Parlemen selama tiga periode yang memberinya pandangan itu.
Menurut catatan, Andi memang telah melewati periode panjang sebagai anggota legislatif: 2004-2009, 2009-2014, hingga 2019-2024. Apa yang terjadi dalam RPD hari itu, kata Andi adalah puncak keresahannya.
“Jadi, artinya, begini loh, saya sedih yah, artinya kenapa kementerian, bukan hanya Kementerian ESDM, seperti dulu kan saya di DPR, waktu 2004 saya dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan Kementerian Dalam Negeri, saya melihat mereka itu banyak program anggaran itu, banyak untuk (prioritas) mereka sendiri. Bentuk uang jalan, uang rapat, dan lain-lain sebagainya.”
Andi juga menjelaskan berbagai keanehan dalam penyusunan anggaran Kementerian ESDM. Biaya yang dihabiskan untuk membuat peraturan menteri (permen) yang mencapai 4,9 miliar, misalnya. Sebuah siap mubazir dan buang duit, kata Andi. Sebab, pada dasarnya, permen adalah kebijakan langsung dari seorang menteri. Ia tak melihat apapun keperluan yang benar untuk menghabiskan uang dalam upaya itu.
Begitu juga dalam membuat rekomendasi dan studi. Andi mengatakan, jika rata-rata hasil studi tersebut dibedah, ia seringkali gagal mendapat hal baru. Minim improvisasi signifikan. Meski begitu kementerian kerap memaksakan hal itu ke dalam prioritas anggaran.
“Ini juga aku keras kemarin untuk pembelajaran supaya 2022 nanti mereka tidak main-main soal ini. Kita ini anggaran untuk rakyat kan makin lama-makin kurang. Kalau banyak porsinya diambil oleh mereka, untung yang begitu-begitu. Kasihan dong.”
Sejak awal menjabat sebagai wakil rakyat, Andi telah skeptis dengan mekanisme penganggaran APBN. Anggaran kementerian secara umum lebih banyak untuk memuaskan orang-orang di internal instansi. Alasannya, kata Andi, mudah ditebak, yaitu karena membuat studi atau rekomendasi adalah sesuatu yang intangible (tidak kelihatan). Keluarannya itu, penggunaan anggaran tidak dapat diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Masalah dalam penyusunan anggaran seperti itu telah diamati Andi sejak tahun 2004. Katanya, hampir semua kementerian melakukan hal serupa. Maka dari itu, Andai kata anggaran dialokasikan untuk program yang bersifat manfaat langsung untuk rakyat, niscaya lebih terasa.
Masyarakat bisa membuat banyak kegiatan dari uang itu. Hasilnya, anggaran untuk masyarakat sepenuhnya untuk mereka. Dinikmati oleh masyarakat, dan dipergunakan sebaik-baik bagi kebutuhan masyarakat.
Kagumi Ali Sadikin
Pengagum Ali Sadikin, begitu Andi Yuliani menggambarkan dirinya. Andi muda adalah orang yang tergila-gila pada progresivitas. Ia selalu haus perubahan. Begitu ia membawa dirinya waktu demi waktu. Ia juga tak banyak kompromi, sikap yang menurutnya terinspirasi dari sosok Ali Sadikin yang dikenal keras kepala.
Pandangan Andi mirip seperti bagaimana jurnalis senior, Rosihan Anwar melihat sosok Ali Sadikin. Rosihan menilai Ali Sadikin mewarisi sifat keras kepala, yang dalam bahasa Belanda adalah "koppig." Sifat itu diwarisi oleh ayahnya.
Namun atas sifat itu juga Presiden Soekarno menjadikan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009), Rosihan Anwar menceritakan sebelum Ali sadikin dijadikan Gubernur Jakarta, semua calon ditolak oleh Soekarno.
Setelahnya, Wakil Perdana Menteri, Dr. Leimena menawarkan sosok Ali Sadikin kepada Soekarno. “Ada Ali Sadikin, tapi orang dia orang keras kepala,” ungkap Leimena. Bung Karno kemudian berkata, justru untuk mengurus Jakarta diperlukan "een beetje koppigheid, sedikit kepala batu.
Sifat koppig itulah kemudian menginspirasi Andi semasa muda. Perubahan, kata Andi dapat dicapai dengan “keras kepala.” Sifat itu melatarbelakangi keputusannya, ketika lulus S1 dari Institut Pertanian Bogor (1984–1988), Andi menolak kesempatan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia memilih peluang lain menjadi asisten manajer dalam sebuah program kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan German Technical Cooperation (GMZ).
Kata Andi, di masa itu kesempatan jadi PNS adalah pintu yang diperebutkan. Dan pintu itu sejatinya terbuka lebar bagi Andi karena ayahnya adalah pejabat tinggi. Namun ia berpaling dari kemudahan itu. Ia ke Pasaman, Sumatra Barat untuk merintis kariernya.
“Tapi (kata) bapak saya justru bagus. Dia ingin saya jadi apply (lamaran) di Koran Kompas. Kemudian saya diwawancara di sini (Jakarta). Saya ditaruh di proyek itu. Dari Kota Padang empat jam. Pokoknya di hutanlah. Saya merasa enjoy-lah saya. Karena saya harus membina masyarakat, mengembangkan ekonomi masyarakat, membantu mengembangkan infrastruktur masyarakat, termasuk membantu kegiatan ekonomi dalam skala kecil, sampai saya bisa bikin itu dulu Lumbung Pitih Nagari bersama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumbar."
Andi di luar Parlemen
Andi mengatakan dirinya adalah orang yang selalu melihat rakyat. Ia membangun karakternya lewat sentuhan langsung dengan masyarakat. Andi menggambarkan itu lewat ceritanya hidup di sebuah desa di Sumatra Barat, bagaimana ia membaur dengan kehidupan warga sekitar: mandi di sungai, membina ekonomi desa, hingga membentuk Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Lumbung Pitih Nagari.
Pengalaman itu terasa spiritual, katanya. Memberi pengaruh besar dalam pembentukan karakternya. Andi sadar, sebaik-baiknya kehidupan adalah yang memberi manfaat dan guna untuk sesama. Karena itulah Andi turut mengembangkan pertanian, irigasi, serta membentuk koperasi perempuan di Pasaman. Di taraf internasional, Andi, sebagai ahli gender juga terlibat langsung menjadi tenaga ahli untuk International Labour Organization (ILO).
Kerasan di Pasaman, Andi mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Pusat Informasi & Pengembangan Sumber Daya Perdesaan Sumbar (1988-1993). LSM itu didirikan dengan tujuan membina kaum wanita dari segi ekonomi, simpan pinjam, dan mengajarkan mereka berpikir maju, khususnya dalam kemandirian ekonomi.
“Jadi artinya aku mulai sesuatu dari mengajar masyarakat untuk maju mandiri. Mandiri dalam ekonomi. Berbagai macamlah, termasuk banyaklah. Mulai dari pertanian, tenun, termasuk ngajarin mereka mengelola uang. Jadi, saya itu terinspirasi, nanti kamu bisa liat Google, jadi aku ngajarin mereka tentang prinsip-prinsip dari Prime Bank itu dari Bangladesh. Jadi, mereka simpan pinjam, tapi juga mereka bisa belajar hidup sehat karena aku juga punya tanggung jawab menurunkan angka kematian bayi.”
Andi kemudian melanjutkan pendidikan S2 di bidang Manajemen dan Perencanaan di Universitas Dortmund. Studi selama tiga tahun itu ia tempuh lewat jalur beasiswa yang diberikan Masyarakat Uni Eropa.
Momen penting lain dalam pengambilan keputusan di hidup Andi terjadi ketika dirinya melepas beasiswa S3 dari program bantuan pemerintah Australia, AusAID ke Australia. Andi beralasan beasiswa itu ia lepas karena tak ingin jauh dari keluarga.
Ia akhirnya memilih Universitas Hasanuddin, Makassar untuk melanjutkan pendidikan di bidang Administrasi Publik. Andi mengatakan alasan memilih jurusan itu adalah untuk memberi kontribusi lebih terarah kepada banyak masyarakat di Indonesia. Dengan alasan yang sama Andi memutuskan terjun ke politik dan mengejar kursi di DPR.
“Jadi, aku menjadi anggota DPR pun, aku bukan apa yah, enggak ada kepentingan-kepentingan, kalau mungkin sekarang kan range (DPR) banyak pengusaha. Salah satunya karena aku merasakan kalau aku sudah berjuang di hulu, anggaran kan masyarakat gak bisa dapat apa-apa, itu salah satu (perjuangan) aku mau lah jadi politikus.”
INTERVIU Lainnya
Baca juga:
- [HUKUM] Febri Diansyah | Tentang Satu Tahun Penuh Kegundahan di KPK
- [PERTAHANAN] Muhammad Najih Arromadoni | Tentang Kepulangan dari Negeri Syam dan Gejala Konflik Suriah di Indonesia
- [FILM] Gunawan Maryanto | Tentang Siman, Kebenaran, dan Bergerak Lambat di Zaman Cepat
- [MUSIK] Hazen Mardial | Tentang Batas Berpikir dan Dunia dalam Tiga Karakter