Menanti Kejujuran Laporan Dana Kampanye Pilpres 2024
JAKARTA – Tanpa terasa rakyat Indonesia akan kembali melaksanakan pesta demokrasi terbesar di tanah air. Kurang lebih tiga bulan mendatang, tepatnya 14 Februari 2024, pemilu legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 akan digelar secara serentak.
Berbicara soal pemilu, baik legislatif maupun presiden, salah satu topik yang menjadi sorotan adalah persoalan dana kampanye. Apalagi jika dikaitkan dengan perebutan kursi kepresidenan Republik Indonesia di 2024.
Lantas, sebenarnya berapa sih dana yang dibutuhkan seseorang untuk maju diri sebagai capres di republik ini? Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah mengungkapkan estimasi modal mininal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang presiden di Indonesia.
Sebelum menyebut nominal di pilpres, Fahri terlebih dahulu membeberkan modal untuk berlaga di pemilu legislatif. Dia mengungkapkan, jika seseorang berniat menjadi calon anggota DPR RI maka diperlukan modal di kisaran Rp5 miliar hingga Rp15 miliar.
Baca juga:
“Tentu ada orang-orang kaya yang merem saja dia nggak perlu ke dapilnya, dia cuma kirim truk logistik, dia kirim uang, dia kirim segala macam, dan orang ini di DPR nggak pernah berbicara, nggak pernah menyatakan pendapat, tapi setiap tanggal 20 Oktober per lima tahunan dia dilantik. Kenapa? Karena uangnya banyak betul orang ini,” tuturnya, Minggu 12 November.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menilai, besarnya dana yang diperlukan untuk mengikuti pemilu seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh stakeholder. Sebab, setiap pelaksanaan pemilu yang ada hanya politik logistik, bukan politik gagasan.
“Tapi kalau pilpres lebih gila menurut saya. Di Indonesia ini kalau orang tidak punya uang Rp5 triliun, nggak bisa nyapres dia. Sadar atau tidak,” ungkap Fahri.
Dia mencontohkan peristiwa yang ramai beberapa waktu lalu berkaitan dengan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Saat itu, lanjut Fahri, ada calon gubernur yang menandatangani pinjaman di belakang layar hingga puluhan miliar. “Bagaimana dengan Republik Indonesia? Saya pikir Rp5 triliun. Itu minimal,” imbuhnya.
Mahalnya biaya menjadi capres juga pernah dilontarkan Ridwan Kamil. Mantan Gubernur Jawa Barat yang pernah digadang-gadang sebagai bakal cawapres 2024 ini menyebut biaya menjadi capres mencapai triliunan.
“Nah saya belajar dari dua kali pilkada sebagai pengantin pilkada bahwa untuk maju menjadi pemimpin di Indonesia syaratnya antara lain elektabilitas dan kesukaan, ada logistik. Yang saya dengar mahal sampai triliunan. Bahkan menurut riset yang saya tahu, untuk jadi presiden butuh Rp8 triliun,” kata RK.
Namun, besarnya biaya maju di pilpres ditepis Mahfud MD. Menurut bakal cawapres pendamping Ganjar Pranowo ini, informasi biaya maju pilpres hingga triliunan hanya rumor semata. Sebab, dari pengalamannya dipinang sebagai pendamping Ganjar, dia tidak dipatok biaya tertentu hingga triliunan.
“Mungkin Anda tidak percaya, tapi saya jujur, saya tidak keluar sepeserpun uang dan tidak diminta untuk mengeluarkan uang sepeserpun,” ungkap Mahfud.
Bila ditilik dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ketiga capres di 2024, Prabowo Subianto tercatat sebagai calon dengan kekayaan terbesar. Dalam LHKPN, kekayaan Prabowo mencapai Rp2,04 tiriliun. Di urutan kedua ada nama Ganjar Pranowo, yang dalam LHKPN tercatat memiliki kekayaan Rp13,45 miliar. Sementara Anies Baswedan merupakan capres dengan kekayaan paling sedikit dalam LHKPN, yakni sebesar Rp11,9 miliar.
Tertutup
Sementara saat dikonfirmasi VOI, Sabtu 11 November, soal besaran dana yang dibutuhkan di Pilpres 2024, beberapa elite parpol di masing-masing paslon masih terkesan tertutup dan enggan mengungkap estimasi biaya yang dibutuhkan. Sebab, mereka masih mengalkulasi biaya yang diperlukan secara pasti dengan sumber dana yang masuk sebelum nanti dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum.
Sumber VOI di Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Prabowo dan Gibran mengungkapkan, estimasi biaya yang diperlukan Prabowo-Gibran mungkin berkisar di angka ratusan milyar.
“Pak Prabowo kan juga sudah pengalaman maju di pilpres dua kali. Mungkin biaya yang diperlukan tidak jauh waktu maju di 2014 dan 2019. Kalau sumber dananya ya dari patungan parpol pengusung dan sumbangan-sumbangan,” kata sumber tersebut.
Dari data VOI, pada Pilpres 2014, Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa melaporkan dana kampanye yang digunakan sebesar Rp166,56 miliar. Sementara di Pilpres 2019 saat berpasangan dengan Sandiaga Uno, dana kampanye pasangan ini mencapai Rp213,2 miliar.
Sumber VOI di kubu pasangan Ganjar dan Mahfud MD menepis jika biaya kampanye mencapai triliunan rupiah. Meski enggan menyebut angka pasti, dia memperkirakan biaya yang dibutuhkan selama kampanye bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar.
“Kebutuhan terbesar selain alat peraga tentu ada di safari atau roadshow paslon. Apalagi bila situasi seperti sekarang, dimana mata uang dollar AS kuat, harga avtur pesawat tinggi. Tentu ini berdampak pada harga tiket pesawat maupun bila mau menyewa pesawat sendiri,” terang sumber VOI itu.
Sama halnya dengan kubu Prabowo-Gibran, sumber dana kampanye yang diperlukan pasangan Ganjar-Mahfud juga berasal dari patungan parpol pengusung dan sumbangan-sumbangan pihak lain. “Tentu dari situ (patungan dan sumbangan). Selama itu tidak melanggar peraturan yang ditetapkan,” imbuhnya.
Kemudian, bagaimana langkah para kontestan menyikapi besarnya dana kampanye yang dibutuhkan? Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan mendorong agar penggalangan dana untuk modal kampanye dilakukan di tingkat relawan.
Namun, uang yang terkumpul bukan buat menutupi dana kampanye pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024, tapi dikembalikan ke relawan untuk melaksanakan kegiatan memenangkan pasangan capres-cawapres.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengakui pihaknya juga banyak diberi bantuan, meski bukan berbentuk uang. Dia mencontohkan, pihaknya dipinjamkan kantor, mobil operasional, hingga penggajian para staf di sekretariat oleh orang atau perusahaan yang membantu.
Anies juga mengaku anggaran yang paling tinggi akan keluar saat menjelang kegiatan kampanye. Untuk menyiasati alat peraga kampanye, timnya akan menyediakan konten kampanye sehingga masyarakat dan relawan bisa mencetak sendiri.
“Kami tidak mencetak, kami menyediakan kontennya, dan kami minta kepada semua, bila Anda percaya kepada apa yang kami kerjakan dan rencanakan, bantu kami melakukan perubahan di negeri ini. Karena tidak mungkin kami kerjakan sendirian,” terangnya di acara 3 Bakal Capres Bicara Gagasan di Grha Saba Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa 19 September yang lalu.
Sementara Ganjar Pranowo menyatakan tidak terlalu memikirkan dana kampanye di Pilpres 2024 karena hal itu merupakan bagian tugas dari partai politik. Dia yakin bahwa terkait dana kampanye parpol-parpol pengusungnya telah menyiapkan melalui pembiayaan gotong-royong.
Dia menambahkan, untuk menutupi besarnya biaya kampanye, tentu akan ada penggalangan dana dan donasi. Menurutnya, model penggalangan dana atau donasi bisa bermacam-macam. Contohnya melalui aplikasi yang bisa berkomunikasi dengan masyarakat, dan juga membuka donasi hingga menjual cendera mata.
“Donasi ini bisa dilakukan secara terbuka, yang penting transparan. Bisa akuntabel dan bisa dimintai pertanggungjawabannya,” tegas Ganjar.
Adapun Prabowo Subianto mengakui bahwa pengalamannya dua kali berlaga di pilpres membuatnya bisa mengkalkulasi berapa biaya yang diperlukan untuk kampanye. Dia mengungkapkan, dalam Pilpres 2024 tidak sampai membuatnya menjual aset pribadi untuk modal maju di pilpres.
“Sekarang partai saya yang banyak membiayai saya. Kalau saya panggil anggota saya, mereka bayar sendiri. Kalau partai semangat idealisme, dia akan bayar sendiri. Pembiayaan mandiri sudah berjalan,” tuturnya.
Kendati demikian, Prabowo tetap mengakui bahwa biaya kampanye di pilpres memang sangat mahal. Karena itu, perlu ada terobosan sebagai jalan keluar biaya politik yang tinggi dalam pemilu dan pilpres. “Harus ada, bagaimana caranya biaya politik dibuat rendah,” imbuhnya.
Selisih Laporan
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, membenarkan biaya untuk berkontestasi di pilpres memang mahal. Sayangnya, pengeluaran riil tersebut kerap berbeda dengan yang dilaporkan setiap paslon ke KPU.
Dia menegaskan, fungsi dari laporan dana kampanye ke KPU seharusnya menunjukkan data yang riil, terutama pada detail pengeluaran dan pemasukan masing-masing paslon.
“Yang jadi pertanyaannya adalah apakah laporan dana kampanye itu betul-betul mencerminkan riilnya? Apakah betul-betul detail yang dikeluarkan segitu? Terus, sumber-sumber pendanaan lainnya juga dicantumkan di laporan dana kampanye atau tidak?” tegas Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, Minggu 12 November.
Perludem, kata dia, telah mengusulkan adanya pembatasan pengeluaran bagi para calon. Sebab, hal ini bisa menjadi satu opsi untuk membatasi tingginya biaya yang dibutuhkan dalam pilpres. Terlebih, aturan saat ini hanya mengatur pembatasan terkait sumbangan kepada calon.
“Pembatasan saat ini hanya dalam segi sumbangan. Yang tidak ada batasannya itu adalah pengeluarannya. Sehingga orang jor-joran, keluar banyak uang, karena tadi asumsinya, banyak uang keluar, bisa menang,” terangnya.
Ninis juga mendorong penyelenggara pemilu bisa melakukan audit terhadap dana pengeluaran dan pemasukan, sehingga laporan dana yang disusun capres dapat dipertanggungjawabkan secara maksimal.
“Bisa didorong transparansi dana kampanye yang dilaporkan. Dana tersebut belum mencerminkan riilnya seperti apa. Kalaupun memang ada audit, belum bersifat investigatif, hanya soal kepatuhan dengan UU,” katanya terkait kejujuran laporan dana kampanye di Pilpres 2024.