Hukum Cambuk di Malaysia: Siasat Redam Maksiat yang Dikecam Banyak Orang

JAKARTA - Hukum Islam bukan barang baru di Malaysia. Negeri Jiran telah mengenalkan hukum Islam sejak dulu kala. Aturan itu hadir dari zaman kerajaan hingga Malaysia merdeka. Hukum cambuk, utamanya. Barang siapa yang berizina dan minum minuman keras akan dicambuk di muka umum.

Pelaksanaan hukuman campur setelah merdeka sempat tak merata. Namun, amandemen Undang-Undang (UU) era 1980-an mengubah segala. Hukuman cambuk wajib diterapkan di seluruh Malaysia. Kecaman pun muncul dari rakyat Malaysia sendiri dan dunia.

Pengaruh Islam cukup besar di Malaysia. Narasi itu bermuara dari banyaknya pedagang Islam yang datang ke Malaysia dari abad ke-7 hingga 11. Kedatangan itu nyatanya membawa pengaruh signifikan.

Banyak di antara rakyat Melayu secara sukarela memeluk Islam. Padahal, tanpa jalur peperangan seperti umumnya penyebaran agama era tersebut. Eksistensi Islam pun naik daun. Hukum Islam mampu berkolaborasi dengan hukum adat orang Melayu dan disepakati.

Kehadiran Prasasti Terengganu jadi buktinya. Prasasti bertarikh 22 Fabuari 1303 berisi aturan hukum Islam. Aturan itu salah satunya berkenaan dengan hukuman kepada pelaku maksiat: minum miras dan berzina.

Hukum cambuk di Nusantara pada masa penjajahan Belanda. (Twitter/@mooibandoeng)

Hukuman yang dihadirkan adalah hukuman cambuk. Hukuman cambuk pun terus populer seiring waktu. Bahkan, era kerajaan Melayu yang berganti dengan kuasa pemerintah kolonial Inggris tak membuat hukuman cambuk dilupakan.

Hukuman cambuk terus langgeng dan hidup dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Namun, eksistensi itu mulai meredup kala Malaysia merdeka dari Inggris. Hukum cambuk tak lagi diterapkan di seantero negeri.

Kuasa itu kemudian digoyang kala Perdana Menteri (PM), Mahathir Mohamad mengambil alih kekuasaan. Perdana Menteri Malaysia ke-4 itu jadi penentu dari perubahan amandemen UU terkait aplikasi hukum Islam di Malaysia pada era 1980-an.

Pemerintahan Mahathir memasukan hukum cambuk sebagai hukuman wajib bagi para pelanggar empat pidana syariat: meminum minuman keras, segala hal yang menjurus ke zina, berzina, dan homoseksual. Hukuman itu dilanggengkan pada 1987.

Mereka yang kedapatan melanggengkan kegiatan maksiat akan mendapatkan hukuman maksimal enam kali cambukan rotan di tempat terbuka. Pun disaksikan pula oleh minimal empat orang beragama Islam. Itupun cambukan harus terarah ke punggung dengan bagian yang beda-beda.

“Algojo yang melaksanakan hukuman itu pun disyaratkan: harus adil dan tidak emosional. Karena itulah para algojo mesti berlatih cara mencambuk dengan rotan sesuai dengan yang digariskan dalam hukum syariat. Sedang untuk membiasakan para abdi hukum syariat (sejumlah pegawai Jawatan Agama yang terdiri dari kadi, mufti, dan jaksa agama) dengan prosedur dan administrasi mahkamah syariat.”

“Mereka diharuskan mengikuti kursus selama satu setengah tahun di Universitas Islam Antarbangsa, di Kuala Lumpur. Januari 1987 lalu, 30 orang abdi hukum syariat dari 14 negara bagian telah merampungkan kursusnya. Setelah itu, mereka masih harus ‘tugas belajar’ ke pengadilan sipil tiga bulan-- untuk membandingkan proses di pengadilan sipil dengan mahkamah syariat,” terang Farida Herwanto dan Ekram H. Attamimi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Cambuk tanpa Emosi (1987).

Banjir Kecaman

Pemerintah Malaysia menganggap hukuman cambuk efektif untuk mengentikan tindakan maksiat. Namun, gelora hukuman cambuk ditentang sana-sini. Tentangan bukan hanya berasal dari rakyat saja, tapi mantan pejabat berkuasa.

Mantan Perdana Menteri Malaysia Pertama, Tunku Abdul Rahman Putra, misalnya. Kehadiran hukum cambuk disebutnya banyak mudarat, ketimbang manfaat. Hukum cambuk dapat membuat martabat orang Melayu yang notabene mayoritas Islam terlihat rendah oleh agama lainnya.

Semua itu karena jangkauan dari hukum cambuk yang melulu urusi perihal maksiat. Alhasil, imej orang Melayu tukang maksiat yang menyebar di seantero Malaysia. Tunku pun menyarankan pemerintah berkuasa untuk melanggengkan opsi hukuman lainnya, daripada hukuman cambuk.

Kritikan lainnya juga terus bermunculan dari dalam dan luar negeri. Hukuman cambuk justru dianggap tak adil bagi agama lainnya. Mereka yang beragama lain merasa was-was. Padahal, mereka tak mengenal istilah hukuman cambuk dalam agamanya.

Pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. (Antara/Irwansyah Putra)

Masalah baru kemudian bermunculan. Malaysia pun dapat terancam sepi wisatawan dunia. Kebijakan itu akan berdampak siginifikan bagi industri pariwisata. Pun tiada juga jaminan angka maksiat akan berkurang di Malaysia karena hukuman cambuk. Sekalipun kini, hukuman cambuk mulai digunakan bagi pejabat yang suka garong duit rakyat. Alias koruptor.

“Sekali lagi pernyataan Tunku menimbulkan reaksi hangat, baik dari yang menentang maupun yang mendukung. Di antara tokoh utama yang mendukungnya ialah Tun Hussein Onn, Perdana Menteri Malaysia yang ketiga. Seperti Tunku, Tun Hussein juga menganggap hukum cambuk sudah tak sesuai dengan konteks kekinian. Beliau mengakui hukum itu terdapat dalam Al Quran, tetapi pelaksanaannya memerlukan kehati-hatian dengan memperhitungkan akibat psikologis yang dipikul si terhukum dalam konteks masyarakat Malaysia.”

“Jumlah maksiat di negara ini tidak akan dapat diatasi walaupun diberlakukan UU cambuk terhadap umat Islam, serta terus terjadi dan meningkat dibandingkan kesalahan bangsa lain. Bahkan hukum cambuk karena meminum arak dapat melukai hati orang-orang muslim dan non-muslim, karena mereka tak menggunakan hukum seperti itu” ungkap Abdul Rahman Haji Abdullah dalam buku Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran (1997).