Pelarangan Operasional Ojol Dikeluarkan Menhub Ignasius Jonan dalam Memori Hari Ini, 9 November 2016
JAKARTA - Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 9 November 2016, Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan melarang operasinya taksi dan ojek online (ojol). Larangan itu hadir karena ojol tak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Motor-Mobil plat hitam tak bisa dijadikan angkutan umum.
Sebelumnya, kehadiran ojol disambut dengan gegap gempita. Kehadirannya mampu menjawab kebutuhan akan transportasi yang cepat dan terjangkau. Sekalipun, tak sedikit pula pihak yang menentang ojol.
Pemerintah Indonesia kerap kelimpungan menyediakan akses transportasi umum yang memadai. Transportasi umum yang ada saja kadang tak terawat. Dampaknya ke mana-mana. Banyak orang lebih memilih menggunakan transportasi pribadi dibanding umum.
Akses yang cepat dan dan tak perlu berdesakan jadi musababnya. Celah itu dilirik oleh perusahaan rintisan (start-up) nasional dan mancanegara. Ragam aplikasi yang dikenal sebagai ojol bermunculan – Grab, Uber Gojek, dan lain sebagainya.
Perusahaan itu banyak melanggengkan ide supaya kendaraan pribadi berupa mobil dan motor dapat menjelma bak trasportasi umum. Kehadiran ojol pun disambut dengan antusiasme tinggi. Utamanya, di kota-kota besar.
Mereka yang awalnya mengandalkan transportasi umum mulai beralih ke ojol untuk aktivitas sehari-hari. Harga yang terjangkau dan praktis jadi pertimbangan utama. Apalagi, belakangan perang tarif digulirkan. Semua perusahaan rintisan ikut tebar harga promosi.
Satu-satunya yang diuntungkan adalah pengguna ojol. Pengguna ojol yang dikian meningkat pun mulai menjadikan posisi pengemudi ojol sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Banyak orang yang mulai mendaftar. Embel-embel pemasukan tinggi dianggap daya tarik.
“Di Indonesia, layanan Uber yang diluncurkan pada Agustus 2014 langsung meroket. Kini mereka punya 10 ribuan unit armada yang beroperasi di Jakarta, Bandung, dan Bali. Di tengah terbatasnya sarana transportasi yang nyaman, taksi dan ojol ini seperti oasis selain merupakan peluang bisnis menarik.”
“Bagi banyak penganggur, layanan ini merupakan harapan baru. Gojek, misalnya, dalam sehari melayani 400 ribu transaksi. Bisa dibayangkan multiplier effect-nya secara ekonomi,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Larangan Ojek dan Taksi Online (2015).
Boleh jadi segenap rakyat Indonesia menyambut ojol. Namun,tidak bagi Menhub, Jonan. Ia justru menyebut ojol tak layak beroperasi di jalanan Indonesia. Jonan menyebut mobil dan motor plat hitam tak boleh dijadikan angkutan umum. Hal itu menciderai UU lalu lintas.
Jonan pun tak sabaran. Ia menyeluarkan surat pemberitahuan yang menegaskan pelarangan ojol mengaspal pada 8 November 2015. Larangan itu memancing reaksi banyak pihak. Presiden Joko Widodo (Jokowi), apalagi. Keputusan Jonan banyak dikiritik, kemudian keputusan itu buru-buru ditarik pada Desember 2015.
“Sebelumnya, Kemenhub mengeluarkan surat pemberitahuan dengan Nomor UM.302/1/21/Phb/2015 tentang operasi ojek yang tidak sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.”
“Surat tersebut tertanggal 9 November 2015 dan sudah ditandatangai Menhub Jonan serta ditembuskan kepada Korps Lalu Lintas Polri, Gubernur serta Kapolda seluruh Indonesia. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Djoko Sasono mengatakan dengan dikeluarkan surat tersebut, maka ojek online tidak boleh lagi beroperasi,” tertulis di laman Sekretariat Kabinet, 18 Desember 2015.