Kontroversi Dinasti Politik Jokowi
JAKARTA – Putusan MK mengabulkan judicial review atau uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia Capres-Cawapres berusia minimal 40 tahun membuka kembali isu politik dinasti ala Presiden Jokowi.
Pada Senin (15/10/2023) MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Almas Tsaqibirru Re A sehingga mengubah syarat pencalonan Capres dan Cawapres menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Artinya, orang yang belum berusia 40 tahun bisa maju jadi Capres atau Cawapres selama berpengalaman jadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.
Pasca putusan tersebut, publik kemudian mengklaim ini sengaja dibuat untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2024.
Gibran termasuk di antara kepala daerah berusia di bawah 40 tahun yang memenuhi syarat untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Ia saat ini menduduki posisi Wali Kota Surakarta.
Di saat bersamaan, nama Gibran juga santer dikaitkan dengan bakal calon presiden (Bacapres) Prabowo Subianto, yang sampai sekarang belum mendeklarasikan pendampingnya di Pilpres tahun depan. Maka tak heran jika MK kemudian dianggap ikut melempangkan politik dinasti di Tanah Air.
Politik Dinasti di Luar Negeri
Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa.
Gelagat politik dinasti ala Jokowi sudah tercium sejak Gibran dan iparnya, Bobby Nasution, terjun ke kancah politik pada Pilkada 2020. Keduanya kemudian memenangi kursi Wali Kota Solo dan Medan.
Politik dinasti sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat contohnya, yang terkenal dengan dinasti Kennedy dan dinasti Bush. Sementara di dalam negeri contohnya ada dinasti Ratu Atut yang mengisi sejumlah posisi strategis di Banten.
Klan Kennedy merupakan salah satu dinasti politik paling populer di Amerika Serikat. Lebih dari setengah abad dinasti ini menempati jabatan penting di pemerintahan. Sementara dinasti Bush sudah menempatkan dua anggota keluarganya sebagai Presiden Amerika Serikat: George H.W, yang menduduki Gedung Putih antara 1988 sampai 1992 dan putranya George W. Bush yang menjadi presiden ke-42.
Negara lain yang juga pernah terjebak dalam dinasti politik adalah India yang sempat dikuasai dinasti Nehru-Gandhi. Di Pakistan, dinasti Bhutto begitu berkuasa dan terakhir Korea Utara yang dipimpin trio Kim.
Politik Dinasti Jokowi Tanpa Proses
Apa yang membuat dinasti politik ala Jokowi gaduh? Menurut pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio, terdapat perbedaan jelas yang membuat calon dinasti politik ala Jokowi kurang diterima di masyarakat.
Menurutnya, anak-anak Jokowi terjun ke gelanggang politik hanya dengan modal relasi kuasa ayahnya sebagai presiden.
“Kalau mau membandingkan dengan Puan Maharani (anak Megawati Soekarnoputri) jelas berbeda sekali. Puan mengawali kariernya sebagai anggota biasa, lalu anggota DPR, ketua fraksi, baru dia menjadi menteri dan kemudian jadi Ketua DPR. Jadi memang ada tahapan-tahapan yang dilalui,” kata Hendri kepada VOI.
“Hal yang sama juga dengan keluarga Pak SBY, AHY ditempa dulu. Dan yang paling penting AHY itu maju ke perhelatan Pilkada pada saat ayahnya tidak lagi menjabat sebagai presiden,” ujar Hendri menambahkan.
“Sementara dinasti Jokowi ini semuanya memanfaatkan relasi kuasa, bapaknya jadi presiden, anaknya maju jadi Wali Kota Solo, Wali Kota Medan, Ketua PSI dan sekarang mau jadi wakil presiden,” kata Hendri lagi.
Hal senada juga diungkapkan Karyono Wibowo selaku Direktur Eksekutif Indonesian Publik Institute (IPI) dan Peneliti Komunikasi Politik Effendi Gazali.
Karyono menyoroti perbedaan proses mendapatkan kekuasaan di kancah politik yang dijalani keluarga Jokowi dengan apa yang didapatkan Megawati Soekarnoputri.
“Yang membedakan dinasti politik Jokowi dengan yang lainnya adalah bagaimana proses keluarganya terjun ke dunia politik. Bagaimana pengalamannya sebelum mendapatkan jabatan,” tutur Karyono kepada VOI.
“Kalau kita lihat, Megawati ini kan melalui sebuah proses yang lama, dia sudah lama di politik sebelum naik menjadi presiden. Jadi itu saja, tolong dibedakan,” ujarnya.
“Sementara Gibran ini kan masih bau kencur, baru banget dia, sehingga menimbulkan persepsi mumpung ayahnya masih menjabat, dia manfaatkan posisi ini,” kata Karyono menyudahi.
Baca juga:
- Di Balik Pemilihan Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar: Kader NU Kerap Diincar dalam Pilpres, Padahal Tidak Jaminan Menang
- Sudah Tepatkah PDIP Memilih Mahfud MD?
- Tanpa Gibran Rakabuming Raka, Prabowo Subianto Tak Cukup Percaya Diri Hadapi Pilpres 2024
- Putusan Mahkamah Konstitusi Jadi Karpet Merah untuk Gibran, tapi Merusak Citra Jokowi
Effendi Gazali, yang dihubungi terpisah, mengatakan, “Yang membedakan cara-caranya apakah dilakukan dengan elegan, atau ambigu, dengan banyak makna, tafsir, dan sebagainya.
“Juga mungkin loncatannya terlalu cepat, apakah dulu ada anak-anak PDIP dan PD yang maju kepala daerah apalagi Cawapres pada waktu bapak atau ibunya jadi presiden?” kata Effendi lagi, menjelaskan perbedaan politik dinasti ala Jokowi dengan Partai Demokrat dan PDIP.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman juga sempat mengomentari tudingan politik dinasti Jokowi. Ia menilai penetapan Kaesang Pangarep menjadi ketum PSI jauh dari istilah politik dinasti Jokowi. Dia pun mencontohkan beberapa anak pimpinan parpol yang punya jabatan strategis di partai.
"Ya jauhlah, misalnya Mbak Puan anaknya Ibu Mega, Anda sebut dinasti bukan? Ya kan? Pak AHY anaknya pak SBY politik dinasti bukan? Ibu Mega anaknya Bung Karno politik dinasti bukan? Ya seperti apa ya yang jelas ini bukan sesuatu hal yang sifatnya negatif, ini sangat positif sekali," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 26 September.