Fakta-Fakta Bacapres (3): Prabowo Subianto yang Selalu Dibayangi Isu Pelanggaran HAM
JAKARTA – Prabowo Subianto akan bertarung dalam Pemilihan Presiden untuk kelima kali sepanjang kariernya. Setelah tiga kali gagal di edisi sebelumnya, kali ini pria yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia diklaim paling siap di antara tiga Bacapres untuk menghadapi kontestasi Pilpres 2024.
Pertarungan Prabowo di Pilpres tahun depan akan kembali diuji dengan isu yang sebenarnya selalu berulang di setiap pesta demokrasi lima tahunan ini. Lawan politik Prabowo dinilai tak punya senjata lain untuk menjegal langkah pria berusia 71 tahun ini.
Tapi menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, dalam catatan Indonesia Politic Opinion (IPO) tidak ada bukti jika sebagian besar pemilih menolak Prabowo karena faktor tersebut, hanya kelompok kecil yang menggunakan propaganda isu HAM dan itu sebenarnya tidak berdampak.
Selalu Tersandung Isu Pelanggaran HAM
Jauh sebelum berkarier di politik, Prabowo Subianto lebih dulu berkarier di militer. Prabowo sebenarnya lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di luar negeri. Itu karena keterlibatan ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, menentang pemerintah Presiden Soekarno lewat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera Barat.
Ia kemudian mengawali karier militernya di TNI Angakatan Darat pada 1974 sebagai Letnan Dua seusai lulus dari AKABRI Darat di Magelang.
Seusai malang melintang di dunia militer, termasuk menjadi bagian dari pasukan operasi Tim Nanggala di Timor Timur pada 1978, karier Prabowo di militer berhenti pada 1998, tak lama setelah Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden Indonesia. Posisi terakhir Prabowo sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Singkat cerita, pada 2008 Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sekaligus menandai awal sepak terjangnya di dunia politik.
Meski termasuk partai baru, Gerindra langsung meraih 4.646.406 suara (4,46%) dan menempatkan 25 orang wakilnya di DPRI RI pada Pemilu legislatif 2009. Raihan suara Gerindra pada Pemilu legislatif terus mengalami peningkatan.
Gerindra menempatkan 73 wakil pada Pemilu legislatif 2014 setelah meraih 14.760.371. Gerindra bahkan melejit menjadi partai ketiga terbesar di Indonesia setelah PDIP dan Golkar berkat perolehan suara di Pemilu 2014.
Lima tahun kemudian, wakil Gerindra di DPR bertambah lima dibandingkan edisi sebelumnya setelah memperoleh 17.594.839 suara (12,57%) dan hanya kalah dari PDIP.
Namun meski kini bernaung di partai besar, nama Prabowo tak pernah lepas dari isu pelanggaran HAM yang diarahkan kepadanya. Isu pelanggaran HAM serta fakta bahwa dirinya diberhentikan dari dinas militer pada 1998 sering dimanfaatkan lawan politik untuk menjegal Prabowo dalam pertarungan Pilpres.
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah mengatakan, isu pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo Subianto adalah dilematis. Fakta bahwa Prabowo diberhentikan atas rekomendasi dewan sidang militer, yang menyatakan Prabowo melakukan perampasan kemerdekaan orang serta berbagai keputusan yang muaranya adalah ketidakpatuhan menunjukkan isu pelanggaran HAM bukan bentuk black campaign, karena memang tersaji dalam catatan sejarah.
Tapi di sisi lain, Prabowo tetap memiliki hak politik dan karena itulah ia diizinkan negara mendirikan Parpol bahkan kini dipercaya presiden memimpin Kementerian Pertahanan.
“Propaganda pelanggaran HAM akan terus muncul sepanjang Prabowo miliki rival dalam kontestasi, karena itu kelemahan Prabowo, bisa saja rival Prabowo kesulitan menemukan kelemahan Prabowo selain pelanggaran HAM,” ujar Dedi kepada VOI.
Tapi Dedi menegaskan, dalam catatan lembaga Indonesia Politic Opinion (IPO) tidak ada bukti bahwa penolakan Prabowo karena hal tersebut.
“Hanya kelompok kecil yang menggunakan propaganda isu HAM dan itu sebenarnya tidak berdampak,” tegasnya.
Dianggap Paling Siap
Di antara tiga Bacapres pada Pilpres 2024, Prabowo Subianto adalah sosok paling senior. Tak hanya dari segi usia, tapi juga pengalamannya bertarung dalam Pilpres. Prabowo sendiri sudah dua kali maju sebagai calon presiden dan sekali calon wakil presiden dengan Gerindra sebagai kendaraan politiknya.
Sebelum membentuk Gerindra, ia juga sempat mencalonkan diri sebagai Bacapres dari Partai Golkar pada konvesi Capres Golkar 2004. Meski lolos, Prabowo kalah suara dari Wiranto. Lalu pada Pilpres 2009 ia maju sebagai calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri. Pasangan yang mendapet slogan ‘Mega-Pro’ ini kemudian kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono.
Prabowo kembali mencoba peruntungan sebagai Capres pada Pilpres 2014. Ia menunjuk Hatta Rajasa sebagai Cawapresnya. Namun meski mendapat dukungan kuat, duet Prabowo-Hatta kalah dari Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Setelah dua kali gagal, Prabowo tak patah arang. Pada Pilpres 2019 ia kembali maju sebagai Capres dan kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno. Tapi kegagalan kembali menghampiri mantan menantu Presiden Soeharto ini, yang kalah dari pasangan Jokowi-Ma’Ruf Amin.
Dedi menuturkan bahwa Prabowo hanya belum menemukan momen yang tepat untuk lolos sebagai pemenang. Dari tiga edisi sebelumnya, Prabowo selalu berhadapan dengan tokoh baru.
“Prabowo sejak muncul di Pemilu pertama Gerindra, sudah cukup heroik dan miliki banyak loyalis, itulah sebab Gerindra langsung lolos ke parlemen,” Dedi menjelaskan.
“Hanya saja, Prabowo belum menemukan momentum yang tepat, ia selalu bersaing dengan tokoh baru yang memiliki lebih peluang, di 2024 pun ini bisa saja berat karena ada sosok baru yang juga populer yakni Anies Baswedan. Tetapi, dengan situasi saat ini, Prabowo masih punya peluang cukup kuat.”
Setelah melewati tiga kegagalan pada Pilpres, Prabowo kini dianggap sebagai Bacapres paling siap bertarung tahun depan. Apalagi, berbagai survei menunjukkan elektabilitas Prabowo selalu tinggi dan tak jarang berada di urutan pertama mengungguli Ganjar Pranowo serta pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Baca juga:
- Kandidat Bacawapres Prabowo Subianto Paling Disorot Warganet, Menurut Pantauan Netray
- Fakta-Fakta Bacapres (2): Ganjar Pranowo dan Penolakan Timnas Israel yang Sudah Dilupakan
- Fakta-Fakta Bacapres (1): Cara Anies Baswedan Hilangkan Label Politik Identitas dengan Gandeng Muhaimin Iskandar
- Banyak Pertanyaan Seputar Proyek National Training Center PSSI Bantuan FIFA di IKN
Tapi di satu sisi, sikap Prabowo yang belum juga menentukan pasangannya berpotensi menjadi masalah baru.
“Sebagai Capres paling siap dari sisi komposisi mesin politik dan logistik, Prabowo perlu memanfaatkan situasi dengan mengambil keputusan cepat, salah satunya segera deklarasi pasangan, agar lebih cepat lakukan kerja politik bersama,” jelas Dedi.
“Jika Prabowo tidak cekatan, bisa saja ia akan alami stagnansi elektabilitas, karena ada potensi publik jenuh dengan sikap lambat Prabowo,” pungkasnya.