Mencegah Politik Dinasti Menjadi Endemi di Indonesia
JAKARTA – Politik dinasti belakangan menjadi topik pembicaraan yang menarik baik di kalangan politik maupun masyarakat biasa. Salah satu penyebabnya tentu bergabung dan terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI.
Masuknya Kaesang ke PSI ditambah belum berhentinya rumor Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto jika gugatan uji materi batas minimum usia calon wapres dikabulkan Mahkamah Konstitusi, membuat wacana Presiden Joko Widodo tengah membangun politik dinasti makin mencuat.
Dosen Sosiologi Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Umar Sholahudin menjelaskan bahwa politik dinasti atau sering disebut juga politik kekerabatan, secara genealogis dan historis lahir dan tumbuh kembang dalam sistem monarki, di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah ke anak. Hal ini dilakukan dalam rangka agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.
Sayangnya, tren politik dinasti juga muncul sebagai gejala neopatrimonialistik dalam masyarakat politik modern. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem, dalam menimbang prestasi.
“Para politisi memanfaatkan kultur neopatrimonial ini sebagai strategi politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui jalur politik prosedural dalam konteks ini adalah demokrasi. Anak, keluarga, atau kerabat para elite masuk institusi yang disiapkan, yakni partai politik,” ujar Umar, Senin 3 Oktober.
Karena itu, tidak mengherankan bila di Indonesia praktik politik dinasti juga terjadi. Sebelum Jokowi disebut-sebut tengah membangun politik dinasti, rakyat Indonesia pun tentu melihat bahwa keluarga proklamator, Soekarno menjadi salah satu contoh politik dinasti utama. Selain Soekarno yang merupakan presiden pertama, ada Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden kelima dan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat ini, publik tentu sudah mengenal nama Puan Maharani dan putra sulungnya SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Di daerah, praktik politik dinasti lebih gamblang. Dalam berbagai pelaksanaan pilkada, publik mengenal beberapa dinasti, seperti Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang (Kalimantan Tengah), Dinasti Sjahroeddin (Lampung) hingga Dinasti Fuad di Madura.
Politik dinasti yang mungkin paling fenomenal di tanah air adalah berkuasanya Dinasti Chasan Sochib di Banten. Dalam periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini menduduki jabatan politik di Banten.
Mulai dari Ratu Atut Chosiyah (anak) sebagai Gubernur Banten dari tahun 2007 hingga 2015, Ratu Tatu Chasanah (anak) sebagai Wakil Bupati Serang 2010-2015 dan Bupati Serang 2016-2020, serta Airin Rahmy Diany (menantu) sebagai Wali Kota Tangerang Selatan 2011 hingga 2020.
Umar menilai, praktik politik dinasti bukan sekadar fenomena politik semata, tetapi sudah menjadi endemi politik tak terkendali yang menyebar ke berbagai daerah. Menjamurnya praktik politik dinasti ini tentu saja akan mengancam tumbuh-kembangnya demokrasi yang sehat di Indonesia. Sebab, dengan politik dinasti, tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan dapat dilakukan di “kamar tidur” rumah.
Lantas, apa penyebab menjamurnya politik dinasti di Indonesia? Peneliti politik dari BRIN, Wasisto Raharjo Jati dalam artikelnya yang dimuat di Jurnal Sosiologi Masyarakat tahun 2013 berjudul “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal” menyebut jika familisme dalam demokrasi lokal dipengaruhi oleh berbagai sumber politik seperti populisme, tribalisme dan feodalisme yang ketiganya membentuk tipologi rezim politik dinasti yang berbeda di Indonesia.
Dia mencontohkan, karakter politik dinasti di Sulawesi Selatan adalah tribalism dynasties yang terbentuk dari reproduksi ritus-ritus budaya etnis, ikatan primordialisme, klan politik, dan stratifikasi sosial. Tapi, Umar Sholahudin berpendapat bahwa tidak adanya regulasi yang mengatur/membatasi orang untuk maju dalam kontestasi politik membuat politik dinasti berkembang di tanah air.
Dia menyebut, keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah petahana.
MK beralasan, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya pelembagaan politik dinasti. Dengan demikian, siapapun sanak famili yang masih ada hubungan dengan kepala daerah petahana, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.
Kedua, lanjut Umar, sistem kelembagaan internal parpol yang masih sangat lemah, yang ditandai dengan macetnya kaderisasi di internal. Parpol lebih mengandalkan ikatan genealogis dari pada merit sistem (prestasi, kecerdasan, dan usaha). Ketiga, di tengah macetnya kaderisasi, maka muncul tindakan politik pragmatis dan instan, yakni mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang.
“Keempat, kuatnya oligarki politik di internal parpol. Pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai, bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon. Kelima, masih lemahnya literasi dan pendidikan politik pemilih tentang dampak buruk dari praktik politik dinasti,” terangnya.
Baca juga:
Lalu, apakah praktik politik dinasti berdampak buruk? Menurut Umar, politik dinasti tentu akan menghambat dan bahkan merusak sistem kaderisasi di internal parpol karena parpol hanya dijadikan mesin politik semata.
Rekrutmen oleh parpol lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan calon untuk meraih kemenangan yang memicu muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, ‘darah biru’ atau politik dinasti, tanpa melalui proses kaderisasi.
Kedua, politik dinasti akan melahirkan oligarki politik, karena dalam sistem yang eksklusif tersebut hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki akses dan meraih tongkat estafet kekuasaan, mirip sistem politik kerajaan, serta hanya mereka yang akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan.
Ketiga, secara faktual, politik dinasti lebih dekat dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan sarat dengan praktik korupsi. Data KPK, kata Umar, menunjukkan bahwa di daerah-daerah yang terjadi politik dinasti, sebagian besar berujung pada praktik korupsi. Pelajaran yang paling nyata fenomenal adalah poitik dinasti yang terjadi di Provinsi Banten, di mana ayah, anak, menantu, keponakan, dan kerabat mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah memegang berbagai lini kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif.
“Kita mungkin tidak dapat melarang munculnya praktik politik dinasti dalam demokrasi elektoral. Namun, setidaknya dapat dicegah dan dihambat, pertama dari sisi negara, dibutuhkan pemikiran yang komprehensif dan regulasi yang kuat untuk setidaknya membatasi agar dan dinasti tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi,” tuturnya.
Kedua dari sisi parpol, publik harus mendorong parpol agar menerapkan sistem atau model kandidasi bertahap dan bertingkat, menumbuhkembangkan sistem meritokrasi di internal partai yang sehat, sistem seleksi yang terbuka dan transparan, serta mempertimbangkan kapasitas, integritas, dan rekam jejak daripada kedekatan politik kekerabatan.
Ketiga dari sisi pemilih, perlu digencarkan pendidikan pemilih yang lebih rasional dan mencerahkan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. “Edukasi politik publik yang kuat untuk membangun budaya literasi politik yang kritis di tengah masyarakat. Pilihlah pemimpin karena visi, misi, dan program kerja yang berkualitas, bukan karena faktor dinasti politik,” tambah Umar.
Pendapat berbeda dikemukakan pengamat politik Hamdi Muluk. Dia menilai, sebenarnya tidak ada yang salah dengan politik dinasti. Sebab, fenomena tersebut terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Selain itu, sebuah dinasti atau clan tidak hanya terjadi di politik saja, tapi terjadi di seluruh bidang maupun profesi.
Dia menjelaskan, secara psikologis orang yang maju dalam dunia politik dan mempunyai keluarga yang sudah berkecimpung di politik terlebih dahulu mempunyai keuntungan tersendiri, karena mendapatkan mentoring atau pelatihan langsung dari keluarganya tersebut. Apalagi kalau keluarganya sudah memenangkan sebuah kontestasi pemilihan umum.
“Misalnya kalau orang mendapat proses mentoring politik dari pamannya, bapaknya atau sesuatu, itu kan suatu nilai tambah. Orang tidak bisa mengatakan “iri”, ya kenapa iri, karena kebetulan bapaknya atau pamannya terjun di politik, terus mereka dapat proses mentoring, jadi sudah tahu seluk beluk politik, itu lazim juga terjadi di profesi yang lain. Misalnya musisi anaknya jadi musisi juga, karena mereka dapat proses role model, proses belajar dari tangan pertama, dari sehari-hari dan proses transfer pengetahuan, transfer keterampilan itu lebih cepat, dan dunia tidak terlalu mengeluhkan juga tentang hal ini,” beber Hamdi.
Anggota pansel calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2024 ini menegaskan, hal yang perlu dijaga dalam konteks politik dinasti adalah jangan sampai memicu terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). “Itulah yang dikhawatirkan oleh masyarakat, jika sebuah keluarga sedang membangun dinasti politik. Jangan sampai kekuasaan disalahgunakan untuk hal-hal tersebut di atas,” imbuhnya.
Meski bisa dianggap politik dinasti sah-sah saja, pengamat politik dari UGM, Mada Sukmajati mengungkapkan bahwa prasangka buruk terhadap politik dinasti di Indonesia bukan tanpa alasan. Hal itu muncul karena kebanyakan politik dinasti yang ada di Indonesia “memperluas praktik korupsi” dan tidak membuat “pelayanan publik menjadi lebih baik”.
“Kebanyakan praktik politik dinasti di Indonesia membawa hasil yang ‘jelek’, tidak seperti Singapura yang politik dinastinya berhasil membawa pertumbuhan ekonomi untuk negara,” tutup Mada.