Tengah Investigasi Kasus di Ukraina hingga Afghanistan, Sistem Komputer Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Diretas
JAKARTA - Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengumumkan pada Hari Selasa, sistem komputernya telah diretas, sebuah pelanggaran yang dilakukan terhadap salah satu lembaga internasional paling terkenal di dunia, yang menangani informasi yang sangat sensitif tentang kejahatan perang.
ICC mengatakan, pihaknya telah mendeteksi aktivitas tidak biasa di jaringan komputernya pada akhir pekan lalu, sehingga memicu respons yang masih berlangsung.
Seorang juru bicara menolak berkomentar mengenai seberapa serius peretasan tersebut, apakah peretasan tersebut telah diselesaikan sepenuhnya, atau siapa yang mungkin berada di balik peretasan tersebut.
"Langkah-langkah segera diambil untuk menanggapi insiden keamanan siber ini dan untuk mengurangi dampaknya," kata ICC dalam pernyataan singkatnya, melansir Reuters 20 September.
Diketahui, ICC adalah pengadilan kejahatan perang permanen di kota Den Haag, Belanda, yang didirikan pada tahun 2002 untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jaksa di pengadilan tersebut saat ini sedang melakukan 17 investigasi terhadap situasi di Ukraina, Uganda, Venezuela, Afghanistan dan Filipina.
Pada Bulan Maret, ICC menjadi berita utama ketika mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena dicurigai mendeportasi anak-anak secara ilegal dari Ukraina. Kremlin menolak tuduhan tersebut dan yurisdiksi pengadilan.
Dokumen-dokumen yang sangat sensitif di ICC dapat mencakup apa pun mulai dari bukti kriminal hingga nama saksi yang dilindungi, meskipun pengadilan tidak mengungkapkan bagian mana dari sistemnya yang telah diakses.
ICC mengatakan dalam pernyataannya, mereka terus "menganalisis dan memitigasi dampak insiden ini" dengan bantuan pemerintah Belanda. Dikatakan, pihaknya juga mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan sibernya.
Terpisah, juru bicara Kementerian Kehakiman Belanda mengonfirmasi, Pusat Keamanan Siber Nasional mendukung penyelidikan tersebut namun menolak berkomentar lebih lanjut.
Sedangkan Presiden Asosiasi Pengacara ICC, Marie-Hélène Proulx mengatakan, pengacara terdakwa dan korban terkena dampak "sama seperti staf pengadilan" oleh tindakan keamanan yang tidak ditentukan, yang diambil sebagai respons terhadap insiden tersebut.
"Kami memuji upaya dalam mengamankan sistem informasi pengadilan dan berharap situasi ini akan segera teratasi," katanya.
Sebelumnya, Badan Intelijen Belanda (AIVD) mengatakan dalam laporan tahunannya tahun 2022 bahwa ICC "menarik perhatian Rusia karena mereka sedang menyelidiki kemungkinan kejahatan perang Rusia di Georgia dan Ukraina".
Pada Bulan Juni 2022, AIVD mengungkapkan mereka telah menemukan agen militer Rusia yang menyamar sebagai warga Brasil dalam upaya menyusup ke pengadilan.
Baca juga:
- Presiden Putin Direncanakan Gelar Pembicaraan Bilateral dengan Xi Jinping di Beijing Bulan Depan, Bahas Apa?
- Tiga Orang Tewas Akibat Serangan Drone Turki, Militer Irak: Pelanggaran dan Ancaman Terhadap Perdamaian
- Nilai Rusia Sama dengan Barat, Presiden Erdogan: Saya Tidak Punya Alasan Tidak Mempercayai Mereka
- Sangkal Tudingan AS Soal Pengiriman Senjata ke Rusia, Presiden Iran Raisi: Kami Menentang Perang di Ukraina
Pada Agustus 2023 Jaksa ICC Karim Khan mengatakan, serangan dunia maya dapat menjadi bagian dari investigasi kejahatan perang di masa depan. Ia memperingatkan ICC sendiri mungkin rentan dan harus memperkuat pertahanannya.
"Disinformasi, perusakan, perubahan data, dan kebocoran informasi rahasia dapat menghalangi penyelenggaraan peradilan di ICC dan, dengan demikian, merupakan kejahatan dalam yurisdiksi ICC yang dapat diselidiki atau dituntut," tulisnya dalam Foreign Policy.
"Tetapi mencegah tetap lebih baik daripada mengobati," tandasnya.