Tak Memiliki Kedudukan Hukum, MK Tolak Uji Materi Partai Buruh soal Presidential Threshold

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk tidak menerima permohonan para pemohon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK RI, Jakarta, dilansir dari Antara, Kamis, 14 September. 

Permohonan tersebut diajukan oleh Partai Buruh, Mahardhikka Prakasha Shatya, dan Wiratno Hadi.

Mereka dalam petitumnya meminta Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai:

"Pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU dan/atau parpol atau gabungan parpol yang memiliki perolehan suara paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya",

Mahkamah tidak menerima permohonan para pemohon karena menilai mereka tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 222 UU Pemilu.

"Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Anwar membacakan konklusi MK atas Perkara Nomor 80/PUU-XXI/2023 tersebut.

Hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa terdapat dua hal pokok dalam menentukan pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu.

Pertama, pemohon merupakan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Kedua, pemohon merupakan perseorangan yang didukung parpol atau gabungan parpol peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wapres atau menyertakan parpol pendukung untuk bersama-sama mengajukan permohonan.

Arief mengatakan, Partai Buruh sebagai pemohon I merupakan parpol yang tidak ikut pemilu sebelumnya, sedangkan norma yang terkandung pada pasal yang diujikan adalah diberlakukan terhadap parpol yang telah mengikuti pemilu sebelumnya.

"Maka menurut mahkamah, batasan atau ketentuan dalam pasal 222 UU 7/2017 (UU Pemilu) tidak dapat diberlakukan bagi pemohon I," papar Arief.

Sama halnya dengan Mahardhikka Prakasha Shatya dan Wiratno Hadi selaku pemohon II dan pemohon III. Mahkamah menyatakan tidak menemukan alasan hukum yang tepat untuk keduanya laik mengajukan permohonan.

Dijelaskan Arief, tidak terdapat bukti yang meyakinkan mahkamah bahwa pemohon II dan pemohon III merupakan perseorangan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan/atau wapres dalam Pilpres 2024.

"Menurut mahkamah, pemohon I, pemohon II, dan pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," kata Arief.